Setelah melalui berbagai tahapan pemilihan, rektor Institut Teknologi Bandung (ITB) periode 2009-2014 telah terpilih. Adalah Prof. Dr. Akhmaloka, rektor terpilih yang menerima dukungan mutlak 19 suara dari total 27 suara yang ada. Segudang harapan hingga tuntutan mengalir deras ke rektor yang baru, tak lepas mahasiswa sebagai “rakyat” yang secara langsung berada dibawah naungan kepemimpinannya.
Kondisi hubungan antara mahasiswa dengan rektor di beberapa periode sebelumnya memang belum terlalu baik. Masih terlihat jelas adanya jurang yang menganga antara kebijakan rektorat dengan keinginan mahasiswa. Hal inilah yang secara konsekuensional membuncahkan harapan besar mahasiswa terhadap rektor terpilih.
Harapan mahasiswa tersebut dirangkum dalam delapan tuntutan yang sebelumnya secara sah telah ditandatangani oleh ketiga calon rektor. Tuntutan tersebut berkisar antara kebijakan pembinaan, fasilitas fisik, sinergi program, dana pendidikan-kemahasiswaan, hingga kualitas dan kuantitas dosen. Secara menyeluruh, tuntutan tersebut memang telah memenuhi kebutuhan mahasiswa dan teknis institusi. Namun, ada harapan yang belum tersampaikan, karena kebanyakan dari kita tidak menyadari bahwa budaya pendidikan institusional di ITB kembali ke dalam feodalisme primitif.
Feodalisme Institusi
Secara aktual, feodalisme di institusi pendidikan, dalam hal ini ITB, bukan merupakan hal yang telah mengakar secara kokoh. Sebaliknya, fenomena ini adalah satu benih yang baru tersemai. Dinding feodalisme perlahan dan tanpa sadar mulai dibangun antara rektorat sebagai “penguasa” dengan mahasiswa sebagai “rakyat jelata”.
Beberapa fenomena yang mengindikasikan adanya feodalisme dalam institusi pendidikan ini dapat dilihat dari berubahnya kultur relasi antara rektorat, birokrat, dosen, dan mahasiswa. Hubungan antara rektorat dengan mahasiswa semakin kaku. Interaksi secara langsung dalam situasi informal yang dilakukan oleh rektorat atau dosen kepada mahasiswa pun semakin berkurang. Yang tersisa adalah pola-pola hubungan dalam garis formal dengan tembok batasan yang dibentangkan kokoh.
Penyalahgunaan wewenang dan terbatasnya komunikasi, sebagai salah satu ciri feodalisme, juga terjadi. Tenaga pengajar yang memiliki otoritas dalam menetapkan nilai bagi mahasiswa menyelewengkan haknya dengan bertindak semena-mena. Sikap angkuh yang mengarah ke feodal ditampakkan dengan dalih status dan posisi. Berbagai kebijakan rektorat yang menyentuh kepentingan mahasiswa ditetapkan tanpa ada komunikasi yang seimbang. Alhasil, muncul keputusan-keputusan yang serta-merta menimbulkan protes baik secara massif maupun pranata tertentu dalam konteks kemahasiswaan.
Feodalisme ini bisa berdampak negatif terhadap keberjalanan pendidikan di ITB. Adanya celah yang memberikan batasan hubungan di dalam institusi dapat menjadi retensi terhadap informasi dan nilai yang seharusnya disampaikan dalam proses pendidikan. Kegiatan pendidikan yang membutuhkan daya dukung dari berbagai komponen pun akan terganggu. Secara tidak langsung, hal tersebut dapat berpengaruh terhadap kualitas mahasiswa yang merupakan luaran dari proses tersebut. Oleh karena itu, tembok feodalisme dalam pendidikan di kampus sudah seharusnya diruntuhkan, agar terselenggara proses pembinaan-pendidikan yang efektif dan dinamis.
Defeodalisasi
Dalam kepemimpinan yang baru, rektor sebagai pimpinan struktural diharapkan dapat mengejawantahkan kebijakan yang tidak berarah pada feodalisme. Sebagai pemimpin kultural, peran rektor dalam memberikan teladan yang hangat dan interaktif bisa mengembalikan martabat hubungan harmonis antara rektorat dengan mahasiswa.
Langkah sederhana, seperti reorientasi kebijakan dengan membuka akses komunukasi sebesar-besarnya terhadap kebijakan yang ada dapat menjadi alternatif awal. Atau, bahkan, tindakan kecil dengan secara intensif mengunjungi kampus tanpa hanya berkutat di dalam “istana” bisa jadi adalah tindakan yang konstruktif dalam budaya di dalam kampus ITB.
Rektor terpilih, Prof. Dr. Akhmaloka, disematkan harapan yang mulia, untuk berupaya mewujudkan defeodalisasi ITB. Harapannya, ITB bukan hanya mampu menjadi world class university yang berkebangsaan –seperti visi yang beliau bawa, tetapi juga berhasil menjadi insitusi yang bersahabat dan manusiawi. Namun, cita tersebut bukan hanya menjadi beban beliau, melainkan menjadi kewajiban kita semua untuk mewujudkannya bersama-sama
0 comments:
Post a Comment