Diambil dari majalah Tawazun edisi 1 Muharram 1427 H
Dinamis dalam dakwah, performa sempurna, dan membangun kesan produktif. Dikenal sebagai, Aktivis
Da’wah. Tapi benarkah ini proses membangun? Yang memberikan cahaya tapi
menghabiskan potensi dan nilai diri? Membakar habis ruh yang bergerak
dalam jasad yang ragu, seperti lilin.
“Sebenarnya
umat islam tidak kekurangan kuantitas, tetapi telah kehilangan
kualitas. Kita telah kehilangan bentuk dan keteladanan manusia muslim
yang kuat imannya, yang membulatkan dirinya untuk dakwah, yang rela
berkorban di jalan dakwah dan jihad fii sabilillah, dan yang senantiasa
istoqomah sampai akhir hayatnya. Maka marilah kita beriltizam
dengan tarbiyah dan janganlah kita ridha menukarnya dengan cara- cara
yang lain.” Demikian taujihat yang disampaikan ustad Musthafa Masyur.
Inilah
arahan yang mengajarkan kita tentang tujuan dari sebuah kerisauan.
Suatu perasaan yang senantiasa kita butuhkan untuk memantapkan satu kata
dalam konsep diri kita, kedewasaan. Kerisauan inilah yang seharusnya
ditempatkan di atas rel yang benar. Kepada umat dan kader dakwah ini,
risau karena kualitas, dan bukan sekedar pada kuantitas. Risau kapada
diri kita, kepada kelarga, dan kepada seluruh manusia yang telah dan
akan membangun interaksinya dengan kita. Interaksi spesifik, interaksi
ketaatan, interaksi dakwah.
Gambaran tersebut diwakili oleh fulan, Seorang Aktivis Dakwah Kampus. Perenungan mengantarkan pada diskusi suatu majelis yang diikutinya. “Ustadz, ini menjadi masalah dalam diri
ane. Ane mencermati perilaku dan keluhan aktivis dakwah. Gambarannya
begini, ketika seorang hamba memiliki kuantitas ibadah yang bertambah,
maka seharusnya berkorelasi positif terhadap kualitas keimanan hamba
tersebut. Dalam perspektif dakwah
pun seharusnya berlaku hal yang sama. Seorang aktivis, ketika frekuensi
aktivitas dakwahnya semakin padat, maka seharusnya ia juga memiliki
kualitas keimanan yang juga meningkat. Akan tetapi kenyataan di lapangan
terlihat agak berbeda. Seringkali aktivitas dakwah yang padat menggerus
dan menyerap habis kesabaran, tabungan empati, dan kedewasaan da’i.
Kami menjadi lebih emosional , kehilangan nuansa ukhuwah, dan yang parah
adalah melihat amanah dakwah sebagai suatu beban. Kami merasa terjebak
dalam sekedar aktivitas formal keorganisasian, sekedar ‘robot- robot’
pelaksana proker. Bahwa amalan tersebut tidak berbeda dengan amalan
mahasiswa lain yang menggelar konser musik
kampus dan sejenisnya. Parahnya lagi, mereka terlihat lebih ‘hidup’
dengan dinamika aktivitasnya dibandingkan dengan nuansa yang kami miliki
dalam mengemban amanah dakwah ini. Bahkan terkadang setan datang dan
memberikan was was. Muncul pertanyaan-pertanyaan, susah amat sih menjadi
selalu baik di hadapan orang. Atau ungkapan bahwa ane merasa memiliki
kepribadian ganda, di depan orang lain selalu dituntut baik, tetapi
sebenarnya lemah ketika sendirian, dan seterusnya. Bagaimana hal
tersebut bisa terjadi?”
Aktivis Lilin
Gambaran
yang dimiliki oleh Fulan tersebut merupakan gambaran dari aktivis
lilin. Tampil sebagai Da’I yangmemberikan pencerahan kepada masyarakat
kampus, akan tetapi secara sadar membakar potensi keimanan yang
dimilikinya. Penyebabnya adalah pemahaman yang memandang agenda dakwah
berbingkai keiatan organisasi lebih utama daripada agenda pembinaan.
Perilaku turunannya adalah tidak jarang aktivis dakwah meminta izin dari
jadwal tarbiyah karena ada syura dakwah. Pada saat itulah potensi
keimanan sang aktivis tidak ter upgrade. Padahal itulah bekalan
yang harus selalu tersedia dalam agenda dakwah sekecil apapun. Dari
pemahaman yang keliru tadi, aktivitas dakwah sang aktivis ‘membakar’
habis potensi dirinya. Menjadi futur adalah konsekuensi logis yang pasti terjadi.
Tanpa
kita sadari seringkali kita terjebak di dalam konteks tersebut.
Semangat yang kita miliki dalam dakwah sangat kondisional. Ketika
lingkungan kondusif untuk dakwah, maka kita akan tampil optimal. Akan
tetapi ketika lingkungan melemah dan amanah dakwah hanya tersampir di
pundak segelintir ikhwah, maka kita pun melemah, meleleh, dan akhirnya
padam, seperti lilin.
Substansi dan Kedudukan Tarbiyah
Jika tarbiyah tidak penting tidak mungkin Syaikh M.Masyhur menegaskan “Marilah kita beriltizam
dengan tarbiyah dan janganlah kita ridha dengan cara-cara yang lain.”
Sebab tarbiyah adalah wadah dimana kita melengkapi pemahaman dan bekalan
dakwah. Modal yang menjelma menjadi ciri dan karakter kita dalam menegakkan amanah kebaikan dan menyerukan islam.
Dimanakah
kiranya kita bisa dapatkan tempat yang menempa kita menjadi seorang
mujahid? Sosok yang memiliki tingkat pemahaman yang tinggi terhadap
agamanya, pemahaman yang menyeluruh, lengkap dan orisinal terhadap
kitabullah dan Sunnaturrasul. Dan ia harus memiliki keihlasan yang besar
untuk menjadi laskar dakwah dan ‘aqidah. Bukan laskar organisasi kampus apalagi laskar lainnya yang hanya mengejar keuntungan dan tujuan materi semata. Bukan pula laskar
yang semata- mata mengejar kepentingan diri sendiri dan popularitas.
Menjadi sosok yang mengutamakan kerja daripada hanya sekedar berbicara.
Yang seimbang perkataan dan perbuatan. Yang mengena dengan pasti jalan
yang dilaluinya dan mengikhlaskan niatnya karena Allah semata.
0 comments:
Post a Comment