Event

Event
Kegiatan mahasiswa yang akan, sedang, dan telah dilakukan.

Info dan Pengumuman

Info dan Pengumuman
Info tentang organisasi, anggota, majelis ilmu, dan berita eksternal lainnya.

Wahana Berpendapat

Wahana Berpendapat
Silahkan menyampaikan saran, kritik, dan pendapatnya.

cover photo

cover photo

Suatu Kajian Terhadap Sisi Lain Kehidupan

| Wednesday, December 30, 2009
Oleh: Falma Kemalasari (Biologi 2008)


Bicara tentang realita kehidupan jalanan, izinkan saya memulai dari realita yang ada di suatu tempat. Pasar Ciroyom. Ciroyom merupakan pasar induk yang berfungsi sebagai penyedia kebutuhan sehari – hari penduduk. Namun, bagi beberapa gelintir golongan, seperti anak – anak jalanan, pasar ini juga berfungsi sebagai tempat bernaung , tempat mencari nafkah, hingga tempat  menjalani kehidupan. Realita yang dapat diamati di sini mungkin mewakili realita yang dapat kita temui pada kehidupan anak jalanan di kota –kota besar lainnya. Banyaknya anak yang putus sekolah, bekerja sebagai pengamen, kuli angkut, pembersih gerbong kereta, dan peminta – minta, banyaknya anak yang terjerumus dalam penyalahgunaan inhalan (khususnya dengan media lem), serta banyaknya anak yang terpisah dari keluarganya pada tahap perkembangan psikologis yang masih sangat membutuhkan bimbingan orang tua, adalah beberapa realita permasalahan anak jalanan yang tercermin dari kehidupan mereka yang tinggal di Ciroyom.

Pada essay kali ini, saya ingin memfokuskan pembahasan pada masalah penyalahgunaan inhalan oleh anak – anak jalanan karena penggunaan inhalan yang tidak pada tempatnya ini akan memberi dampak yang dapat dirasakan seumur hidup mereka.Ketergantungan inhalan dapat merusak fungsi otak, fungsi koordinasi tubuh, kemampuan berbicara, serta kecerdasan. Padahal hal – hal tersebut merupakan bekal bagi seorang anak untuk tumbuh dan berkembang dengan normal. Oleh karena itu, penanggulangan ketergantungan anak –anak jalanan tersebut pada inhalan, menurut saya, adalah hal yang paling penting untuk dikaji dan dicari solusinya.

Menurut literatur, inhalan adalah bahan uap yang mudah menguap saat dihirup, serta memiliki sifat depresan yang memperlambat fungsi koordinasi tubuh. Contoh inhalan antara lain aerosol, aica aibon, isi korek api gas, cairan dry cleaning, uap bensin, vernis, cairan pemantik api, lem, semen karet, cairan pembersih, cat semprot, semir sepatu, cairan tip-ex, perekat kayu, bahan pembakar aerosol, pengencer cat (tinner). Penyalahgunaan inhalan berarti menggunakan inhalan tersebut bukan untuk fungsi yang semestinya. Bila dihirup zat-zat tersebut akan menimbulkan perasaan euphoria, kegembiraan, serta perasaan mengambang yang menyenangkan, semacam reaksi yang dirasakan pengguna narkoba. Hal ini menyebabkan banyak terjadi penyalahgunaan inhalan untuk menanggulangi depresi. Namun, pada dosis tinggi zat ini juga dapat mengakibatkan halusinasi, ketakutan, hingga distorsi ukuran tubuh.  Inhalan adalah zat yang berbahaya, tapi nyatanya fakta – fakta di lapangan sebagian besar menyatakan bahwa penyalahgunaan produk – produk inhalan ini adalah penyalahgunaan yang paling sering digunakan oleh anak – anak dan remaja, terutama mereka yang hidup di jalanan.

Untuk memecahkan masalah penyalahgunaan inhalan oleh anak jalanan, mungkin akan lebih mudah bagi kita untuk terlebih dahulu menganalisis latar belakang penyalahgunaan tersebut. Realita kehidupan yang dialami oleh anak – anak jalanan mungkin akan sulit dipahami bila tidak dialami sendiri. Karena realita bukanlah ilmu pasti yang dapat diprediksi maupun dipelajari seperti buku yang terbuka, saya hanya dapat berteori. Menurut saya, sebagaimana penyalahgunaan zat – zat adiktif lainnya, penyalahgunaan inhalan terutama dipicu oleh faktor depresi dan keadaan psikologis yang tertekan. Inhalan dipergunakan sebagai media untuk meringankan perasaan depresi yang dirasakan anak – anak tersebut. Latar belakang penyalahgunaan inhalan ini dapat dilihat dari 3 segi latar belakang , yakni keluarga, lingkungan, dan pendidikan.

Ditinjau dari latar belakang keluarga, banyak anak jalanan yang memiliki status keluarga yang tidak jelas. Beberapa memiliki orang tua lebih dari satu pasang, beberapa merupakan korban perceraian, beberapa bahkan tidak mengetahui di mana orang tua mereka. Di lain pihak, umumnya anak – anak pengguna inhalan berusia antara 10 hingga 18 tahun, bahkan lebih muda. Usia ini merupakan usia pembelajaran yang masih sangat butuh bimbingan, terutama dari orang tua. Saat keluarga mereka dalam keadaan yang tidak jelas, orang tua mereka yang sibuk dengan urusan lain, anak –anak tidak dalam kondisi yang dapat menerima bimbingan maupun pembelajaran apapun sehingga menyebabkan ada proses pembelajaran yang hilang dari kehidupan mereka. Hal ini mengakibatkan proses pencarian pembelajaran serta bimbingan tersebut dilakukan pada orang – orang di luar keluarga mereka. Di sinilah peran lingkungan masuk dalam proses pembentukan diri seorang anak. Pada kasus anak jalanan, ketika di rumah dan keluarga mereka tidak menemukan apa yang seharusnya mereka temukan, seperti kasih sayang dan perhatian, maka mereka akan mencari hal – hal tersebut di jalanan. Hingga akhirnya kehidupan di jalanan menjadi kehidupan nyata yang bebas dan lebih menyenangkan untuk mereka. Namun, bebasnya kehidupan jalanan pulalah yang akhirnya mengenalkan mereka pada zat –zat seperti inhalan sebagai suatu solusi permasalahan. Di lain pihak, latar belakang pendidikan yang rendah pada anak – anak jalanan tersebut juga mendukung terjadinya penyalahgunaan inhalan. Setelah lingkungan mengenalkan mereka pada inhalan, latar belakang pendidikan yang rendah mengakibatkan mereka mudah mempercayai penggunaan inhalan tersebut sebagai solusi permasalahan mereka, hingga akhirnya mereka jadi ketergantungan. Ketiga faktor latar belakang tersebut saling mendukung sehingga penyalahgunaan inhalan akhirnya menjadi bagian dari kehidupan anak – anak jalanan.

Setelah berteori memprediksi hal – hal yang menjadi faktor anak – anak tersebut menghirup inhalan, maka kita dapat berteori serta menganalisis solusi yang dapat diterapkan. Solusinya akan lebih mudah ditinjau dari tiga segi pula, yaitu keluarga, lingkungan, dan pendidikan. Dari segi keluarga, mungkin ini merupakan persoalan yang cukup rumit sebab melibatkan banyak pihak. Namun, tetap harus ditemukan solusi karena segalanya dimulai dari keluarga sebagai lingkungan terdekat dengan kehidupan anak. Kemungkinan solusi yang dapat diterapkan antara lain dengan membangun konseling rutin bagi para orang tua mengenai kehidupan keluarga serta bagaimana cara mendidik anak. Konseling ini memang butuh pendekatan secara personal dan teratur sehingga dibutuhkan banyak tenaga sukarelawan dan butuh proses yang memerlukan waktu. Namun diharapkan dari konseling ini orang tua akan lebih menyadari perannya dalam kehidupan anak – anak mereka. Bagi anak – anak jalanan yang telah kehilangan orang tua, ada baiknya diusahakan program seperti orang tua asuh atau kakak asuh. Namun, program seperti ini juga butuh proses, tidak seperti proses pengadopsian anak dari panti asuhan di mana sang anak langsung dibawa masuk ke kehidupan orang tua asuh, program orang tua asuh untuk anak jalanan harus dibedakan. Mereka yang telah terbiasa dengan bebasnya kehidupan di jalanan tidak akan tahan bila langsung dibawa ke kehidupan yang sangat berbeda. Orang- orang yang akan menjadi orang tua asuh harus bisa bersabar melakukan pendekatan personal pada anak – anak tersebut serta sedikit banyak ikut terlibat dalam kehidupan mereka di jalanan. Hal ini untuk menghindari kasus kaburnya anak – anak tersebut kembali ke jalanan ketika mereka tidak dapat beradaptasi saat di bawa ke dalam kehidupan orang tua asuhnya.

Selain keluarga, solusi lain dapat diterapkan pada segi pendidikan. Putus sekolah karena tidak ada biaya merupakan ciri yang umum ditemukan pada anak-anak jalanan. Namun, pendidikan dapat diperoleh dari mana saja. Bila memungkinkan, dapat diupayakan dana demi menyekolahkan anak – anak tersebut ke bangku sekolah umum lagi, tapi akan sulit memasukkan anak – anak tersebut ke sekolah bila mereka masih hidup di jalanan dan harus mencari nafkah setiap hari. Solusi lain adalah dengan mengadakan pendidikan di tempat mereka tinggal, pendidikan yang sesuai dengan jadwal rutinitas mereka dan sesuai dengan kebutuhan mereka. Pendidikan yang diberikan tidak sebatas pendidikan baca tulis dan berhitung, tapi juga pendidikan yang bertujuan agar mereka dapat mengaplikasikannya pada kehidupan mereka di jalanan. Contohnya pendidikan motivasi diri seperti bagaimana mengelola stress, menjalani kehidupan, dan motivasi berprestasi, pendidikan agama, tentang bagaimana shalat dan puasa, bersyukur serta bersabar, pendidikan kesehatan seperti sanitasi dan bahayanya inhalan, hingga pelatihan keterampilan yang dapat menjadi bekal bagi kehidupan mereka. Bentuk pendidikan ini nantinya juga dapat membuat kegiatan – kegiatan sebagai penyaluran seni dan ekspresi emosi yang terpendam dalam diri anak – anak tersebut sehingga sedikit demi sedikit aktivitas mereka menghirup inhalan akan berkurang. Tentu pendidikan seperti ini butuh pengajar yang banyak serta dapat membawakan pengajaran dengan ringan dan mudah dimengerti. Namun dengan adanya pendidikan seperti ini, diharapkan apa yang anak – anak jalanan tersebut peroleh dari pendidikan dapat mengisi kekosongan ilmu – ilmu yang seharusnya diperoleh di rumah. Jadi, solusi ini dapat menjadi pendukung solusi bagi permasalahan keluarga yang telah dibahas sebelumnya.

Selain pendidikan kehidupan, sebaiknya didirikan lembaga rehabilitasi bagi penyalahgunaan inhalan. Lembaga rehabilitasi ini diperlukan untuk menangani tahap kecanduan pada anak – anak jalanan tersebut. Merehabilitasi seseorang  bukanlah hal yang dapat dilakukan semua orang, butuh tenaga khusus untuk memastikan orang yang direhabilitasi tidak kambuh lagi sehingga perlu adanya suatu lembaga rehabilitasi bagi pengguna inhalan terutama bagi anak – anak jalanan. Lembaga rehabilitasi ini harus secepatnya diwujudkan karena semakin lama anak –anak jalanan tersebut menghirup inhalan, semakin sulit bagi mereka untuk lepas dari ketergantungannya.

Mencari solusi untuk diterapkan dari segi lingkungan anak – anak jalanan tersebut mungkin hal yang paling sulit karena melibatkan begitu banyak komponen dan skala yang luas. Lingkungan anak jalanan mungkin juga dapat diubah dengan pendekatan bimbingan dan pendidikan. Namun butuh waktu yang cukup lama serta perlu diperolehnya kepercayaan dari komponen – komponen kehidupan di lingkungan tersebut. Menerapkan suatu solusi di suatu lingkungan seperti layaknya mengubah dan membangun suatu peradaban, dibutuhkan rencana yang jelas dan jangka panjang sehingga perlu dipikirkan sebaik – baiknya.

Selain solusi – solusi yang saya kemukakan di atas, menurut saya, mungkin dapat dibentuk suatu lapangan kerja yang secara tidak langsung dapat melokalisasikan anak – anak jalanan tersebut di suatu tempat tertentu dengan pekerjaan yang disesuaikan, baik dari segi bobot kerja, waktu kerja, serta penghasilannya disesuaikan dengan kapasitas masing – masing anak. Lapangan kerjanya dapat berbentuk kerja sosial seperti membantu di panti jompo, di panti asuhan, hingga penampungan pengungsian. Dengan ini diharapkan mereka dapat mengenal kehidupan lain di luar kehidupan mereka, di samping mereka juga ikut membantu orang serta belajar bertanggung jawab. Pekerjaan mereka juga dapat menjadi saran penyejahteraan sosial bagi komponen kehidupan sosial lainnya dan mereka pun terlatih untuk lebih menyayangi serta memperhatikan sesama. Program ini dapat diselenggarakan dalam bentuk kerja sama dengan pemerintah, terutama departemen sosial. Namun, apakah lapangan kerja seperti ini termasuk bentuk eksploitasi tenaga kerja di bawah umur? Sementara di lain pihak pekerjaan yang selama ini digeluti oleh anak – anak itu merupakan pekerjaan untuk orang dewasa?

Di sisi lain, penyusunan essay ini melahirkan beberapa pertanyaan baru di pikiran saya. Ada UUD 45 yang mencantumkan bahwa fakir miskin dan anak jalanan di tangggung oleh pemerintah. Memang kita tidak boleh selalu menyalahkan pemerintah, tapi sebenarnya dalam bentuk apakah tanggungan tersebut dimaksudkan? Apa saja yang telah dilakukan pemerintah untuk memenuhi kewajibannya terhadap anak – anak jalanan? Apakah pemerintah hingga saat ini belum tahu bentuk tanggungan dari kewajiban mereka terhadap para anak jalanan tersebut? Bila ternyata belum, dapatkah kita sebagai mahasiswa menangani rancangan bentuk “tanggungan pemerintah terhadap anak jalanan” tersebut dan menjadi semacam agen pelaksana sehingga pemerintah hanya perlu mengalokasikan dana serta melakukan pengujian dan persetujuan terhadap rencana yang disusun mahasiswa?

0 comments:

Post a Comment

 

Copyright © 2010 Al-Hayaat | Design by Dzignine