Oleh: Falma Kemalasari (Biologi 2008)
Bicara tentang realita kehidupan jalanan,
 izinkan saya memulai dari realita yang ada di suatu tempat. Pasar 
Ciroyom. Ciroyom merupakan pasar induk yang berfungsi sebagai penyedia 
kebutuhan sehari – hari penduduk. Namun, bagi beberapa gelintir 
golongan, seperti anak – anak jalanan, pasar ini juga berfungsi sebagai 
tempat bernaung , tempat mencari nafkah, hingga tempat  menjalani 
kehidupan. Realita yang dapat diamati di sini mungkin mewakili realita 
yang dapat kita temui pada kehidupan anak jalanan di kota –kota besar 
lainnya. Banyaknya anak yang putus sekolah, bekerja sebagai pengamen, 
kuli angkut, pembersih gerbong kereta, dan peminta – minta, banyaknya 
anak yang terjerumus dalam penyalahgunaan inhalan (khususnya dengan 
media lem), serta banyaknya anak yang terpisah dari keluarganya pada 
tahap perkembangan psikologis yang masih sangat membutuhkan bimbingan 
orang tua, adalah beberapa realita permasalahan anak jalanan yang 
tercermin dari kehidupan mereka yang tinggal di Ciroyom.
Pada essay kali ini, saya ingin 
memfokuskan pembahasan pada masalah penyalahgunaan inhalan oleh anak – 
anak jalanan karena penggunaan inhalan yang tidak pada tempatnya ini 
akan memberi dampak yang dapat dirasakan seumur hidup mereka.Ketergantungan
 inhalan dapat merusak fungsi otak, fungsi koordinasi tubuh, kemampuan 
berbicara, serta kecerdasan. Padahal hal – hal tersebut merupakan bekal 
bagi seorang anak untuk tumbuh dan berkembang dengan normal. Oleh karena
 itu, penanggulangan ketergantungan anak –anak jalanan tersebut pada 
inhalan, menurut saya, adalah hal yang paling penting untuk dikaji dan 
dicari solusinya.
Menurut literatur, inhalan adalah bahan 
uap yang mudah menguap saat dihirup, serta memiliki sifat depresan yang 
memperlambat fungsi koordinasi tubuh. Contoh inhalan antara lain 
aerosol, aica aibon, isi korek api gas, cairan dry cleaning, uap bensin,
 vernis, cairan pemantik api, lem, semen karet, cairan pembersih, cat 
semprot, semir sepatu, cairan tip-ex, perekat kayu, bahan pembakar 
aerosol, pengencer cat (tinner). Penyalahgunaan inhalan berarti 
menggunakan inhalan tersebut bukan untuk fungsi yang semestinya. Bila 
dihirup zat-zat tersebut akan menimbulkan perasaan euphoria, 
kegembiraan, serta perasaan mengambang yang menyenangkan, semacam reaksi
 yang dirasakan pengguna narkoba. Hal ini menyebabkan banyak terjadi 
penyalahgunaan inhalan untuk menanggulangi depresi. Namun, pada dosis 
tinggi zat ini juga dapat mengakibatkan halusinasi, ketakutan, hingga 
distorsi ukuran tubuh.  Inhalan adalah zat yang berbahaya, tapi nyatanya
 fakta – fakta di lapangan sebagian besar menyatakan bahwa 
penyalahgunaan produk – produk inhalan ini adalah penyalahgunaan yang 
paling sering digunakan oleh anak – anak dan remaja, terutama mereka 
yang hidup di jalanan.
Untuk memecahkan masalah penyalahgunaan 
inhalan oleh anak jalanan, mungkin akan lebih mudah bagi kita untuk 
terlebih dahulu menganalisis latar belakang penyalahgunaan tersebut. 
Realita kehidupan yang dialami oleh anak – anak jalanan mungkin akan 
sulit dipahami bila tidak dialami sendiri. Karena realita bukanlah ilmu 
pasti yang dapat diprediksi maupun dipelajari seperti buku yang terbuka,
 saya hanya dapat berteori. Menurut saya, sebagaimana penyalahgunaan zat
 – zat adiktif lainnya, penyalahgunaan inhalan terutama dipicu oleh 
faktor depresi dan keadaan psikologis yang tertekan. Inhalan 
dipergunakan sebagai media untuk meringankan perasaan depresi yang 
dirasakan anak – anak tersebut. Latar belakang penyalahgunaan inhalan 
ini dapat dilihat dari 3 segi latar belakang , yakni keluarga, 
lingkungan, dan pendidikan.
Ditinjau dari latar belakang keluarga, 
banyak anak jalanan yang memiliki status keluarga yang tidak jelas. 
Beberapa memiliki orang tua lebih dari satu pasang, beberapa merupakan 
korban perceraian, beberapa bahkan tidak mengetahui di mana orang tua 
mereka. Di lain pihak, umumnya anak – anak pengguna inhalan berusia 
antara 10 hingga 18 tahun, bahkan lebih muda. Usia ini merupakan usia 
pembelajaran yang masih sangat butuh bimbingan, terutama dari orang tua.
 Saat keluarga mereka dalam keadaan yang tidak jelas, orang tua mereka 
yang sibuk dengan urusan lain, anak –anak tidak dalam kondisi yang dapat
 menerima bimbingan maupun pembelajaran apapun sehingga menyebabkan ada 
proses pembelajaran yang hilang dari kehidupan mereka. Hal ini 
mengakibatkan proses pencarian pembelajaran serta bimbingan tersebut 
dilakukan pada orang – orang di luar keluarga mereka. Di sinilah peran 
lingkungan masuk dalam proses pembentukan diri seorang anak. Pada kasus 
anak jalanan, ketika di rumah dan keluarga mereka tidak menemukan apa 
yang seharusnya mereka temukan, seperti kasih sayang dan perhatian, maka
 mereka akan mencari hal – hal tersebut di jalanan. Hingga akhirnya 
kehidupan di jalanan menjadi kehidupan nyata yang bebas dan lebih 
menyenangkan untuk mereka. Namun, bebasnya kehidupan jalanan pulalah 
yang akhirnya mengenalkan mereka pada zat –zat seperti inhalan sebagai 
suatu solusi permasalahan. Di lain pihak, latar belakang pendidikan yang
 rendah pada anak – anak jalanan tersebut juga mendukung terjadinya 
penyalahgunaan inhalan. Setelah lingkungan mengenalkan mereka pada 
inhalan, latar belakang pendidikan yang rendah mengakibatkan mereka 
mudah mempercayai penggunaan inhalan tersebut sebagai solusi 
permasalahan mereka, hingga akhirnya mereka jadi ketergantungan. Ketiga 
faktor latar belakang tersebut saling mendukung sehingga penyalahgunaan 
inhalan akhirnya menjadi bagian dari kehidupan anak – anak jalanan.
Setelah berteori memprediksi hal – hal 
yang menjadi faktor anak – anak tersebut menghirup inhalan, maka kita 
dapat berteori serta menganalisis solusi yang dapat diterapkan. 
Solusinya akan lebih mudah ditinjau dari tiga segi pula, yaitu keluarga,
 lingkungan, dan pendidikan. Dari segi keluarga, mungkin ini merupakan 
persoalan yang cukup rumit sebab melibatkan banyak pihak. Namun, tetap 
harus ditemukan solusi karena segalanya dimulai dari keluarga sebagai 
lingkungan terdekat dengan kehidupan anak. Kemungkinan solusi yang dapat
 diterapkan antara lain dengan membangun konseling rutin bagi para orang
 tua mengenai kehidupan keluarga serta bagaimana cara mendidik anak. 
Konseling ini memang butuh pendekatan secara personal dan teratur 
sehingga dibutuhkan banyak tenaga sukarelawan dan butuh proses yang 
memerlukan waktu. Namun diharapkan dari konseling ini orang tua akan 
lebih menyadari perannya dalam kehidupan anak – anak mereka. Bagi anak –
 anak jalanan yang telah kehilangan orang tua, ada baiknya diusahakan 
program seperti orang tua asuh atau kakak asuh. Namun, program seperti 
ini juga butuh proses, tidak seperti proses pengadopsian anak dari panti
 asuhan di mana sang anak langsung dibawa masuk ke kehidupan orang tua 
asuh, program orang tua asuh untuk anak jalanan harus dibedakan. Mereka 
yang telah terbiasa dengan bebasnya kehidupan di jalanan tidak akan 
tahan bila langsung dibawa ke kehidupan yang sangat berbeda. Orang- 
orang yang akan menjadi orang tua asuh harus bisa bersabar melakukan 
pendekatan personal pada anak – anak tersebut serta sedikit banyak ikut 
terlibat dalam kehidupan mereka di jalanan. Hal ini untuk menghindari 
kasus kaburnya anak – anak tersebut kembali ke jalanan ketika mereka 
tidak dapat beradaptasi saat di bawa ke dalam kehidupan orang tua 
asuhnya.
Selain keluarga, solusi lain dapat 
diterapkan pada segi pendidikan. Putus sekolah karena tidak ada biaya 
merupakan ciri yang umum ditemukan pada anak-anak jalanan. Namun, 
pendidikan dapat diperoleh dari mana saja. Bila memungkinkan, dapat 
diupayakan dana demi menyekolahkan anak – anak tersebut ke bangku 
sekolah umum lagi, tapi akan sulit memasukkan anak – anak tersebut ke 
sekolah bila mereka masih hidup di jalanan dan harus mencari nafkah 
setiap hari. Solusi lain adalah dengan mengadakan pendidikan di tempat 
mereka tinggal, pendidikan yang sesuai dengan jadwal rutinitas mereka 
dan sesuai dengan kebutuhan mereka. Pendidikan yang diberikan tidak 
sebatas pendidikan baca tulis dan berhitung, tapi juga pendidikan yang 
bertujuan agar mereka dapat mengaplikasikannya pada kehidupan mereka di 
jalanan. Contohnya pendidikan motivasi diri seperti bagaimana mengelola 
stress, menjalani kehidupan, dan motivasi berprestasi, pendidikan agama,
 tentang bagaimana shalat dan puasa, bersyukur serta bersabar, 
pendidikan kesehatan seperti sanitasi dan bahayanya inhalan, hingga 
pelatihan keterampilan yang dapat menjadi bekal bagi kehidupan mereka. 
Bentuk pendidikan ini nantinya juga dapat membuat kegiatan – kegiatan 
sebagai penyaluran seni dan ekspresi emosi yang terpendam dalam diri 
anak – anak tersebut sehingga sedikit demi sedikit aktivitas mereka 
menghirup inhalan akan berkurang. Tentu pendidikan seperti ini butuh 
pengajar yang banyak serta dapat membawakan pengajaran dengan ringan dan
 mudah dimengerti. Namun dengan adanya pendidikan seperti ini, 
diharapkan apa yang anak – anak jalanan tersebut peroleh dari pendidikan
 dapat mengisi kekosongan ilmu – ilmu yang seharusnya diperoleh di 
rumah. Jadi, solusi ini dapat menjadi pendukung solusi bagi permasalahan
 keluarga yang telah dibahas sebelumnya.
Selain pendidikan kehidupan, sebaiknya 
didirikan lembaga rehabilitasi bagi penyalahgunaan inhalan. Lembaga 
rehabilitasi ini diperlukan untuk menangani tahap kecanduan pada anak – 
anak jalanan tersebut. Merehabilitasi seseorang  bukanlah hal yang dapat
 dilakukan semua orang, butuh tenaga khusus untuk memastikan orang yang 
direhabilitasi tidak kambuh lagi sehingga perlu adanya suatu lembaga 
rehabilitasi bagi pengguna inhalan terutama bagi anak – anak jalanan. 
Lembaga rehabilitasi ini harus secepatnya diwujudkan karena semakin lama
 anak –anak jalanan tersebut menghirup inhalan, semakin sulit bagi 
mereka untuk lepas dari ketergantungannya.
Mencari solusi untuk diterapkan dari segi
 lingkungan anak – anak jalanan tersebut mungkin hal yang paling sulit 
karena melibatkan begitu banyak komponen dan skala yang luas. Lingkungan
 anak jalanan mungkin juga dapat diubah dengan pendekatan bimbingan dan 
pendidikan. Namun butuh waktu yang cukup lama serta perlu diperolehnya 
kepercayaan dari komponen – komponen kehidupan di lingkungan tersebut. 
Menerapkan suatu solusi di suatu lingkungan seperti layaknya mengubah 
dan membangun suatu peradaban, dibutuhkan rencana yang jelas dan jangka 
panjang sehingga perlu dipikirkan sebaik – baiknya.
Selain solusi – solusi yang saya 
kemukakan di atas, menurut saya, mungkin dapat dibentuk suatu lapangan 
kerja yang secara tidak langsung dapat melokalisasikan anak – anak 
jalanan tersebut di suatu tempat tertentu dengan pekerjaan yang 
disesuaikan, baik dari segi bobot kerja, waktu kerja, serta 
penghasilannya disesuaikan dengan kapasitas masing – masing anak. 
Lapangan kerjanya dapat berbentuk kerja sosial seperti membantu di panti
 jompo, di panti asuhan, hingga penampungan pengungsian. Dengan ini 
diharapkan mereka dapat mengenal kehidupan lain di luar kehidupan 
mereka, di samping mereka juga ikut membantu orang serta belajar 
bertanggung jawab. Pekerjaan mereka juga dapat menjadi saran 
penyejahteraan sosial bagi komponen kehidupan sosial lainnya dan mereka 
pun terlatih untuk lebih menyayangi serta memperhatikan sesama. Program 
ini dapat diselenggarakan dalam bentuk kerja sama dengan pemerintah, 
terutama departemen sosial. Namun, apakah lapangan kerja seperti ini 
termasuk bentuk eksploitasi tenaga kerja di bawah umur? Sementara di 
lain pihak pekerjaan yang selama ini digeluti oleh anak – anak itu 
merupakan pekerjaan untuk orang dewasa?
Di sisi lain, penyusunan essay ini 
melahirkan beberapa pertanyaan baru di pikiran saya. Ada UUD 45 yang 
mencantumkan bahwa fakir miskin dan anak jalanan di tangggung oleh 
pemerintah. Memang kita tidak boleh selalu menyalahkan pemerintah, tapi 
sebenarnya dalam bentuk apakah tanggungan tersebut dimaksudkan? Apa saja
 yang telah dilakukan pemerintah untuk memenuhi kewajibannya terhadap 
anak – anak jalanan? Apakah pemerintah hingga saat ini belum tahu bentuk
 tanggungan dari kewajiban mereka terhadap para anak jalanan tersebut? 
Bila ternyata belum, dapatkah kita sebagai mahasiswa menangani rancangan
 bentuk “tanggungan pemerintah terhadap anak jalanan” tersebut dan 
menjadi semacam agen pelaksana sehingga pemerintah hanya perlu 
mengalokasikan dana serta melakukan pengujian dan persetujuan terhadap 
rencana yang disusun mahasiswa?

0 comments:
Post a Comment