Oleh : Abdul Rosyad (Biologi 2007)
Telah
sering didengar, manusia adalah mahluk ciptaan Allah yang paling
sempurna. Manusia dibekali dengan akal dan hati untuk berpikir dan
menuntun tindakan yang dilakukan dalam kehidupannya. Pada hakikatnya,
manusia memang diciptakan untuk sulit berada pada keadaan ideal dimana
bisa menggunakan kedua alat pikirnya. Sering kita jumpai dalam
kehidupan, seorang teman yang hanya menggunakan rasionya saja dalam
bertindak. Penggunaan alat pikir ini tidak terkait dengan status gender
dimana disebutkan bahwa kaum pria lebih suka berpikir dengan akal
ketimbang mempergunakan perasaannya (hatinya) sedangkan kaum wanita
lebih suka berpikir dengan perasaannya ketimbang dengan logikanya.
Dalam
banyak kesempatan, sebaiknya kita mencoba untuk mengenali
sahabat-sahabat yang dititipkan Allah kepada kita. Mereka bagaikan
cermin diri kita sendiri, sifat buruk dan sifat baik yang ada pada diri
sahabat-sahabat kita akan menjadi bahan evaluasi diri kita sendiri untuk
menjadi manusia yang lebih baik. Seringkali, setelah kita mengamati
tindakan buruk seorang sahabat, timbullah prasangka-prasangka buruk,
caci maki dan celaan akan pribadi yang melakukan tindakan itu. Keadaan
berpikir seperti inilah yang membawa potensi kehancuran kehidupan
sosial-persaudaraan yang telah dijalin. Disisi lain, saat kita
mempergunakan kelembekan rasio dalam berpikir – keadaan ini bisa
dianggap kita berpikir dibantu perasaan dengan proporsi yang tidak
imbang – akan melahirkan sebuah kemakluman, toleransi-toleransi yang
cenderung tidak jelas dan tanpa batas. Lalu, bagaimana sebaiknya cara
kita berpikir ?. Sejujurnya penulis pun tidak tahu bagaimana cara
mempergunakan rasio dan hati dalam berpikir dengan benar.
Rasulallah
SAW bersabda ada segumpal darah dalam tubuh manusia yang ketika itu
baik maka baiklah segala tingkah lakunya. Sebenarnya, apa yang terpikir
dengan ratio kita telah lebih dulu dipikirkan dengan hati. Hanya saja,
buah pikir itu sendiri dihasilkan dari hati yang seperti apa, yang hitam
penuh benci dan dengki ataukah yang putih bersih menyejukkan. Merupakan
hal yang wajar ketika manusia tidak bisa berlaku adil dalam melakukan
segala sesuatu termasuk dalam mempergunakan alat pikirnya. Dalam menilai
sesuatu –dalam konteks ini ketika mengamati perbuatan yang tidak baik
dari seorang sahabat, merupakan contoh yang sering kita temukan dalam
kehidupan kita- cobalah untuk berprasangka baik terlebih dahulu kemudian
telusuri apa penyebab keburukan itu terjadi. Seorang sahabat yang baik
akan berusaha mengenal sahabatnya dengan segala cara yang ia punya, baik
secara intensif, perlahan, terang-terangan atau sembunyi-sembunyi.
Dengan cara ini, insyaallah, Allah akan melahirkan buah pikir hasil
pengoptimalisasian hati dan rasio dalam menilai sesuatu. Langkah
berikutnya adalah menyampaikan apa yang perlu kita sampaikan, sebuah
nasehat misalnya, kepada sahabat yang kita rasa telah melakukan
kehilafan yang sengaja atau tidak sengaja dilakukan. Pada keadaan inilah
kita akan merasakan indahnya persahabatan dan persaudaraan yang kita
jalin bersama.
0 comments:
Post a Comment