Oleh : Arni (Biologi 2007)
Kenapa
pada komukasi lisan maupun tulisan kita lebih memilih menggunakan kata
“Allah” daripada kata “Tuhan”? Sebuah fenomena sederhana yang penting,
namun sayangnya tidak semua orang mengerti dan memahami alasan di balik
hal ini. Bahkan kadang kala, orang malah memilih untuk melakukan hal
yang sebaliknya.
Pada
dasarnya, setiap orang harus mengetahui bahwa kata “Tuhan” merupakan
kata yang bersifat umum, tidak mengacu pada siapa kita tengah berbicara.
Dengan kata lain, tidak jelas sama sekali “Tuhan” mana yang sedang kita
bicarakan. Hal ini terjadi salah satunya karena pada dasarnya, kata
“Tuhan” atau “God” sendiri berasal dari sisa kebudayaan religi
politheisme yang dalam satu kepercayaan pun terdapat lebih dari satu
“Tuhan” atau “God”.
Istilah
“Tuhan” sendiri, secara etimologis berasal dari kata “Tuh” atau “Teuh”
yang setara dengan istilah “Hyang” atau “Sang Hyang”. Kata tersebut
kemudian masuk dan diserap ke dalam istilah bahasa Melayu, yaitu
“Tuhan”. Padanannya dalam bahasa Inggris adalah “God”, dalam bahasa
Jepang berupa kata “Kami-(sama)” sedangkan dalam bahasa Sansakerta
berupa istilah “Dev” atau “Dewa”. Misal, dalam bahasa Jepang, Tuhan atau
Dewa Matahari disebut Ameterasu Omikami dan Dewa Kematian adalah
Shinigami (gami adalah turunan dari “kami”). Nampak di sini bahwa
“Tuhan”, “God”, “Dewa” atau “Kami” cenderung merupakan panggilan gelar
daripada sebutan tunggal yang spesifik seperti “Allah”.
Hal
yang berbeda terjadi pada penggunaan kata “Allah”. Dengan sifat
spesifiknya, penggunaan kata ini akan menyebabkan diketahuinya dengan
mudah oleh setiap orang bahwa pembicaraan yang menggunakan kata ini
tentulah mengacu pada term Islam atau Muslim. Meskipun begitu, hal yang
juga sangat penting untuk dipertimbangkan adalah bahwa kata “Tuhan” dan
segala padanannya dapat dipermainkan, diubah dan dimanipulasi sedemikian
hingga menciptakan makna yang sama sekali berbeda.
Misal,
pada penggunaan istilah “God”. Ketika ditambahkan “s”, “God” menjadi
“Gods” atau Tuhan dalam bentuk jamak sesuai dengan inti politheisme.
Ketika “dess” yang ditambahkan, “God” menjadi “Goddess” atau Tuhan
Wanita yang dalam bahasa Sansakerta disebut “Devi” atau “Dewi” yang
mencirikan personifikasi yang tidak dikenal dalam ketauhidan. Hal yang
serupa juga terjadi pada pembentukan kata “demigod”, “godfather”,
“godmother” atau “shinigami”.
Dalam
Islam, dalam ketauhidan yang kita imani, tidak ada istilah “Allah’s”,
“Allah Wanita” atau “Allah-dess”, “Allah-father”, “Allah-mother”, “Allah
Kematian” atau istilah lain yang serupa salahnya. Kata dan istilah
“Allah” adalah unik, spesifik dan tidak dapat tergantikan tempatnya oleh
istilah apapun.
Karena
itu, dalam penggunaan umum atau ketika tidak mengacu pada “Allah”, maka
boleh kita menggunakan istilah “Tuhan”, “Dewa”, “God”, dll. Namun, di
saat yang kita maksudkan adalah “Allah”, maka lebih utama untuk tetap
menggunakan kata “Allah” dan tidak menggantinya dengan istilah lain.
Wallaahualam.
0 comments:
Post a Comment