Oleh : Gibran Huzaifah (Biologi 2007)
Obrolan Kita Dimeja Makan. Tentang Mereka Yang Kelaparan (Ethiopia, Iwan Fals)
Ada sebuah frasa yang menarik di dalam lagu Etiopia
gubahan Iwan Fals di atas. Frasa tersebut mempresentasikan betapa
ironisnya citra empati yang sering ditampilkan oleh kita di dalam
keseharian. Empati mengapung, begitu penulis menyebutnya. Suatu
tampilan jiwa empati yang hanya sekadar mengapung di permukaan. Ketika
percakapan tentang kelamnya dasar laut menjadi hal yang lumrah sementara
setiap detik yang dirasakan hanya sebatas zona tenteram yang kaya akan
cahaya. Maka tabiat empati itu menjadi bias, tatkala obrolan tentang
orang yang kelaparan dilangsungkan di tengah prosesi makan malam, karena
pada dasarnya, kita tidak bisa benar-benar tahu bagaimana rasanya lapar
sedangkan tadi baru saja makan kenyang.
Maka gagasan tentang empati yang menyeluruh inilah yang menjadi landasan dilangsungkannya acara ini. Tentang
empati yang mendalam. Tentang kepedulian yang tumbuh dari sebuah
observasi nyata di lapangan. Bahwa ada sisi kehidupan yang tidak
terjamah oleh kita sebelumnya. Bahwa ada area yang tak terbayangkan oleh
mahasiswa yang konon sibuk dengan kegiatan akademiknya. Bahwa dibalik
cakrawala konvensional, terdapat panorama hidup yang mengenaskan. Dan
disitulah, di tengah tumpukan sampah, di sekitar aroma busuk, di atas
jejalan becek, terdapat sekumpulan anak jalanan yang menjalani kehidupan
di titik yang jauh dari kenyamanan.
Ciroyom adalah potret kehidupan
masyarakat kelas bawah dengan wajah yang sebenarnya. Kerasnya hidup
memaksa orang-orang di sana untuk mengikis jiwa sosialnya sendiri. Maka,
kita diperlihatkan tentang komunitas pasar yang dipenuhi jiwa-jiwa
individual. Ketika kecurangan perniagaan, transaksi barang haram, intrik
pemanfaatan jabatan, menjadi konstruk pembentuk keseharian disana. Satu
era l’exploitation l’homme de l’homme, eksploitasi manusia
oleh manusia, yang baru terjadi di sana. Para pedagang yang diekploitasi
oleh petugas keamanan dan pejabat untuk ditarik iuran yang ilegal.
Anak-anak jalanan yang dieksploitasi pedagang yang menjual barang-barang
kotor. Pengunjung yang dieksploitasi rasa pedulinya oleh anak-anak
jalanan yang memasang tampang memelas. Dan lain sebagainya. Mereka semua
adalah korban dari kerasnya kehidupan dan miskinnya kepedulian sosial.
Diantara itu semua ada anak-anak jalanan
yang menciptakan keceriaannya sendiri. Lagi-lagi, karena kehidupan yang
keras itu mereka mencari pelarian dalam bentuk yang alakadarnya.
Pelarian yang, setidaknya, bisa membuat mereka lupa tentang kehidupan
yang begitu naas. Lalu, pelarian itupun diejawantahkan dalam menghirup
aroma lem yang sesaat bisa membuat mereka gembira, tanpa perlu alasan
yang pasti. Pelarian itu mereka wujudkan dalam senandung yang mereka
nyanyikan di perempatan jalan, yang membuat mereka tertawa dengan lirik
yang diciptakan sendiri. Maka, mereka pun ceria, dengan perspektif hidup
yang mereka gariskan sendiri.
Dalam persepsi normal, sebenarnya menjadi
hal yang sulit membayangkan keceriaan di tengah kehidupan mereka.
Anak-anak itu adalah kumpulan bocah yang tidak terlalu “bernasib”
untung. Karena di usia yang sekecil itu, mereka telah menjalani hidup
sedemikian berat. Anak-anak dari berbagai daerah dengan bermacam-macam
latar belakang berkumpul disana. Ada yang dari daerah dekat seperti
Cimahi, Garut, atau dari yang jauh hingga Riau dan Kalimantan. Alasan
mereka disana pun bervariasi. Kebanyakan karena korban orang tua tidak
bertanggung jawab yang mencari kepuasan hidupnya sendiri dengan mencari
istri lagi sehingga mereka terlantar. Ada juga yang disana karena orang
tuanya meninggal, entah dibunuh atau karena sakit. Atau memang anak-anak
yang terpaksa mencari uangnya sendiri karena keluarganya tidak mampu
menafkahi. Dibalik itu semua, hal yang menarik adalah, dengan lukisan
kehidupan yang seperti itu, mereka bisa bertahan, bahkan, mereka larut
terlena di dalamnya.
Ini merupakan sisi positif sekaligus
negatif yang ada dalam satu kondisi. Positif karena, dengan mereka
terlena di kehidupan yang seperti itu, mereka memiliki kegembiraan a la
mereka sendiri. Biar saja hidup sekeras apa, mereka masih menertawakan
kehidupan itu dengan tawa yang lebih keras. Ini positif. Apa lagi yang
lebih positif dari sikap yang gagah dalam menghadapi hidup yang payah?
Tapi, disamping itu, ada juga sisi negatif yang dapat memicu
permasalahan ke depan. Keterlenaan mereka di kehidupan jalanan dapat
mengakibatkan keterpurukan permanen. Karena, biarpun bertitel anak
jalanan, mereka tetaplah generasi muda yang berperan sebagai penerus
estafet kepemimpinan bangsa. Jika standar nyaman mereka ada di titik
itu, lalu bagaimana mereka bisa berkembang? Yang ada adalah kehidupan
dalam jurang yang sama, selamanya. Dan hal itu terindikasikan dari
beberapa anak yang memiliki rumah dan kerabat di Bandung, tapi tidak
jarang pulang bahkan untuk sekadar berkunjung, “soalnya lebih nyaman di
jalanan”, katanya.
Setitik Embun Padang Pasir
Potensi positif di atas harus bisa
dimanfaatkan, agar mereka tidak tercebur di jurang negatif. Oleh karena
itu, mereka membutuhkan pembimbing yang bisa mengerahkan ke mana
seharusnya mereka melangkah. Karena, gaya hidup yang tidak baik, seperti
menghidup lem, merokok, meminum minuman keras, yang mereka lakukan
hanya karena tuntutan lingkungan. Lingkungan yang gelap seperti itulah
yang membawa mereka ke arah kekelaman. Harus ada orang yang bisa
menunjukkan mereka jalan kebenaran, agar mereka terjauh dari
keterpurukan.
Maka, segala puji bagi Allah, yang telah
menanamkan kepedulian bagi beberapa orang pengurus Rumah Belajar
(selanjutnya disingkat Rubel) yang diberi nama SAHAJA (Sahabat Anak
Jalanan) Ciroyom. Rubel ini didirikan oleh seorang dosen dan bekerja
sama dengan mahasiswa-mahasiswa yang memiliki keinginan kuat untuk
setidaknya memberikan pertolongan dengan daya seadanya kepada anak-anak
jalanan di Ciroyom. Rubel itu tidak hanya mengajarkan mereka untuk
membaca, menulis, berhitung, tetapi juga memberikan mereka pemahaman
tentang arti kejujuran dan kedisiplinan. Lalu, jadilah anak-anak jalanan
yang tadinya dididik oleh deru kehidupan, menjadi orang yang dididik
dengan etika dan kasih sayang. Kehadiran rubel ini laksana setitik embun
di padang pasir. Menyegarkan memang, tapi masih tidak melepas dahaga
mereka.
Sekalipun berbekal kepedulian yang besar,
kehadiran Rubel Sahaja ini belum memberikan dampak yang signifikan
terhadap kehidupan anak jalanan. Anak-anak itu masih tetap ada di dalam
tempat yang sama, dengan aktivitas yang sama. Rubel memang memberikan
bantuan berupa makanan dan lain sebagainya, tapi itu justru membuat
anak-anak menjadi bergantung, tidak mandiri, dan malah mengalokasikan
keuangannya untuk membeli kaleng dalam jumlah yang lebih besar. Hal ini
ditengarai akibat kurangnya sumber daya, baik itu dalam bentuk dana
maupun SDM. Karena, dengan keterbatasan itu, program-program tidak bisa
berjalan dengan optimal, dan karena itu pula tidak bisa dibuat satu
proyek besar yang bisa mengakomodasi segala kebutuhan mereka dan tetap
mengembangkan (improving) dan memberdayakan (empowering) potensi mereka sebagai manusia.
Hal nyata yang mereka butuhkan saat ini
adalah sebuah program terpadu, yang didalamnya mencakup pendidikan dan
pengembangan potensi. Mereka perlu diajarkan untuk memandang masa depan
dengan lebih cerah, dan diarahkan untuk menjalaninya dengan cara yang
positif. Kegiatan menghirup lem mungkin bisa dihilangkan dengan
melakukan rehabilitasi kecanduan zat aditif, atau dengan mengganti benda
itu sementara dengan hal yang lain.
Pemerintah sebagai lembaga yang memiliki
otoritas sekaligus tanggung jawab tertinggi terhadap nasib anak jalanan
ini perlu ditagih tindakannya. Karena, keterlibatan pemerintah dalam
mengayomi mereka akan sangat membantu keberlangsungan program
pengembangan ini. Daya-daya yang terpencar di LSM, CSR dan
program-program pengabdian masyarakat mahasiswa bisa disatupadukan agar
menghasilkan kekuatan yang besar untuk mengubah keadaan menjadi lebih
baik.
0 comments:
Post a Comment