Event

Event
Kegiatan mahasiswa yang akan, sedang, dan telah dilakukan.

Info dan Pengumuman

Info dan Pengumuman
Info tentang organisasi, anggota, majelis ilmu, dan berita eksternal lainnya.

Wahana Berpendapat

Wahana Berpendapat
Silahkan menyampaikan saran, kritik, dan pendapatnya.

cover photo

cover photo

Ironisme dan Kehidupan

| Thursday, December 24, 2009
Oleh : Gibran Huzaifah (Biologi 2007)


Obrolan Kita Dimeja Makan. Tentang Mereka Yang Kelaparan (Ethiopia, Iwan Fals)

Ada sebuah frasa yang menarik di dalam lagu Etiopia gubahan Iwan Fals di atas. Frasa tersebut mempresentasikan betapa ironisnya citra empati yang sering ditampilkan oleh kita di dalam keseharian. Empati mengapung, begitu penulis menyebutnya. Suatu tampilan jiwa empati yang hanya sekadar mengapung di permukaan. Ketika percakapan tentang kelamnya dasar laut menjadi hal yang lumrah sementara setiap detik yang dirasakan hanya sebatas zona tenteram yang kaya akan cahaya. Maka tabiat empati itu menjadi bias, tatkala obrolan tentang orang yang kelaparan dilangsungkan di tengah prosesi makan malam, karena pada dasarnya, kita tidak bisa benar-benar tahu bagaimana rasanya lapar sedangkan tadi baru saja makan kenyang.

Maka gagasan tentang empati yang menyeluruh inilah yang menjadi landasan dilangsungkannya acara ini. Tentang empati yang mendalam. Tentang kepedulian yang tumbuh dari sebuah observasi nyata di lapangan. Bahwa ada sisi kehidupan yang tidak terjamah oleh kita sebelumnya. Bahwa ada area yang tak terbayangkan oleh mahasiswa yang konon sibuk dengan kegiatan akademiknya. Bahwa dibalik cakrawala konvensional, terdapat panorama hidup yang mengenaskan. Dan disitulah, di tengah tumpukan sampah, di sekitar aroma busuk, di atas jejalan becek, terdapat sekumpulan anak jalanan yang menjalani kehidupan di titik yang jauh dari kenyamanan.

Ciroyom adalah potret kehidupan masyarakat kelas bawah dengan wajah yang sebenarnya. Kerasnya hidup memaksa orang-orang di sana untuk mengikis jiwa sosialnya sendiri. Maka, kita diperlihatkan tentang komunitas pasar yang dipenuhi jiwa-jiwa individual. Ketika kecurangan perniagaan, transaksi barang haram, intrik pemanfaatan jabatan, menjadi konstruk pembentuk keseharian disana. Satu era l’exploitation l’homme de l’homme, eksploitasi manusia oleh manusia, yang baru terjadi di sana. Para pedagang yang diekploitasi oleh petugas keamanan dan pejabat untuk ditarik iuran yang ilegal. Anak-anak jalanan yang dieksploitasi pedagang yang menjual barang-barang kotor. Pengunjung yang dieksploitasi rasa pedulinya oleh anak-anak jalanan yang memasang tampang memelas. Dan lain sebagainya. Mereka semua adalah korban dari kerasnya kehidupan dan miskinnya kepedulian sosial.

Diantara itu semua ada anak-anak jalanan yang menciptakan keceriaannya sendiri. Lagi-lagi, karena kehidupan yang keras itu mereka mencari pelarian dalam bentuk yang alakadarnya. Pelarian yang, setidaknya, bisa membuat mereka lupa tentang kehidupan yang begitu naas. Lalu, pelarian itupun diejawantahkan dalam menghirup aroma lem yang sesaat bisa membuat mereka gembira, tanpa perlu alasan yang pasti. Pelarian itu mereka wujudkan dalam senandung yang mereka nyanyikan di perempatan jalan, yang membuat mereka tertawa dengan lirik yang diciptakan sendiri. Maka, mereka pun ceria, dengan perspektif hidup yang mereka gariskan sendiri.

Dalam persepsi normal, sebenarnya menjadi hal yang sulit membayangkan keceriaan di tengah kehidupan mereka. Anak-anak itu adalah kumpulan bocah yang tidak terlalu “bernasib” untung. Karena di usia yang sekecil itu, mereka telah menjalani hidup sedemikian berat. Anak-anak dari berbagai daerah dengan bermacam-macam latar belakang berkumpul disana. Ada yang dari daerah dekat seperti Cimahi, Garut, atau dari yang jauh hingga Riau dan Kalimantan. Alasan mereka disana pun bervariasi. Kebanyakan karena korban orang tua tidak bertanggung jawab yang mencari kepuasan hidupnya sendiri dengan mencari istri lagi sehingga mereka terlantar. Ada juga yang disana karena orang tuanya meninggal, entah dibunuh atau karena sakit. Atau memang anak-anak yang terpaksa mencari uangnya sendiri karena keluarganya tidak mampu menafkahi. Dibalik itu semua, hal yang menarik adalah, dengan lukisan kehidupan yang seperti itu, mereka bisa bertahan, bahkan, mereka larut terlena di dalamnya.

Ini merupakan sisi positif sekaligus negatif yang ada dalam satu kondisi. Positif karena, dengan mereka terlena di kehidupan yang seperti itu, mereka memiliki kegembiraan a la mereka sendiri. Biar saja hidup sekeras apa, mereka masih menertawakan kehidupan itu dengan tawa yang lebih keras. Ini positif. Apa lagi yang lebih positif dari sikap yang gagah dalam menghadapi hidup yang payah? Tapi, disamping itu, ada juga sisi negatif yang dapat memicu permasalahan ke depan. Keterlenaan mereka di kehidupan jalanan dapat mengakibatkan keterpurukan permanen. Karena, biarpun bertitel anak jalanan, mereka tetaplah generasi muda yang berperan sebagai penerus estafet kepemimpinan bangsa. Jika standar nyaman mereka ada di titik itu, lalu bagaimana mereka bisa berkembang? Yang ada adalah kehidupan dalam jurang yang sama, selamanya. Dan hal itu terindikasikan dari beberapa anak yang memiliki rumah dan kerabat di Bandung, tapi tidak jarang pulang bahkan untuk sekadar berkunjung, “soalnya lebih nyaman di jalanan”, katanya.


Setitik Embun Padang Pasir
Potensi positif di atas harus bisa dimanfaatkan, agar mereka tidak tercebur di jurang negatif. Oleh karena itu, mereka membutuhkan pembimbing yang bisa mengerahkan ke mana seharusnya mereka melangkah. Karena, gaya hidup yang tidak baik, seperti menghidup lem, merokok, meminum minuman keras, yang mereka lakukan hanya karena tuntutan lingkungan. Lingkungan yang gelap seperti itulah yang membawa mereka ke arah kekelaman. Harus ada orang yang bisa menunjukkan mereka jalan kebenaran, agar mereka terjauh dari keterpurukan.

Maka, segala puji bagi Allah, yang telah menanamkan kepedulian bagi beberapa orang pengurus Rumah Belajar (selanjutnya disingkat Rubel) yang diberi nama SAHAJA (Sahabat Anak Jalanan) Ciroyom. Rubel ini didirikan oleh seorang dosen dan bekerja sama dengan mahasiswa-mahasiswa yang memiliki keinginan kuat untuk setidaknya memberikan pertolongan dengan daya seadanya kepada anak-anak jalanan di Ciroyom. Rubel itu tidak hanya mengajarkan mereka untuk membaca, menulis, berhitung, tetapi juga memberikan mereka pemahaman tentang arti kejujuran dan kedisiplinan. Lalu, jadilah anak-anak jalanan yang tadinya dididik oleh deru kehidupan, menjadi orang yang dididik dengan etika dan kasih sayang. Kehadiran rubel ini laksana setitik embun di padang pasir. Menyegarkan memang, tapi masih tidak melepas dahaga mereka.

Sekalipun berbekal kepedulian yang besar, kehadiran Rubel Sahaja ini belum memberikan dampak yang signifikan terhadap kehidupan anak jalanan. Anak-anak itu masih tetap ada di dalam tempat yang sama, dengan aktivitas yang sama. Rubel memang memberikan bantuan berupa makanan dan lain sebagainya, tapi itu justru membuat anak-anak menjadi bergantung, tidak mandiri, dan malah mengalokasikan keuangannya untuk membeli kaleng dalam jumlah yang lebih besar. Hal ini ditengarai akibat kurangnya sumber daya, baik itu dalam bentuk dana maupun SDM. Karena, dengan keterbatasan itu, program-program tidak bisa berjalan dengan optimal, dan karena itu pula tidak bisa dibuat satu proyek besar yang bisa mengakomodasi segala kebutuhan mereka dan tetap mengembangkan (improving) dan memberdayakan (empowering) potensi mereka sebagai manusia.

Hal nyata yang mereka butuhkan saat ini adalah sebuah program terpadu, yang didalamnya mencakup pendidikan dan pengembangan potensi. Mereka perlu diajarkan untuk memandang masa depan dengan lebih cerah, dan diarahkan untuk menjalaninya dengan cara yang positif. Kegiatan menghirup lem mungkin bisa dihilangkan dengan melakukan rehabilitasi kecanduan zat aditif, atau dengan mengganti benda itu sementara dengan hal yang lain.

Pemerintah sebagai lembaga yang memiliki otoritas sekaligus tanggung jawab tertinggi terhadap nasib anak jalanan ini perlu ditagih tindakannya. Karena, keterlibatan pemerintah dalam mengayomi mereka akan sangat membantu keberlangsungan program pengembangan ini. Daya-daya yang terpencar di LSM, CSR dan program-program pengabdian masyarakat mahasiswa bisa disatupadukan agar menghasilkan kekuatan yang besar untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik.

0 comments:

Post a Comment

 

Copyright © 2010 Al-Hayaat | Design by Dzignine