Waktu kecil (usia 4-12 tahun), apa 
makanan yang paling sering kamu makan? Cokelat, es krim, permen? Di mana
 biasanya kamu main? Taman, mall, sawah? Hmm.. Coba tanyakan kedua 
pertanyaan itu pada sekelompok anak-anak yang terbiasa dengan kehidupan 
jalanan, mungkin kita akan menemukan jawaban yang “istimewa”.
Sabtu, 5 September 2009, perkenalan 
pertama saya dengan sisi lain dunia kanak-kanak. “Ramadhan Bersama 
Mereka” menjadi acara yang membuka silaturrahim antara kita dengan 
adik-adik kita di Pasar Ciroyom.
Setelah menghadapi kemacetan yang cukup 
parah, akhirnya rombongan akhwat Al-Hayaat dan Dodi tiba di pasar 
Ciroyom. Turun dari angkot, kami berjalan kaki menuju Rumah Belajar 
anak-anak jalanan. Di sana kami disambut anak-anak, Ayah dan para Bunda 
(Pak Gamesh dkk). Subhanallah, di tengah hingar-bingar pasar (emangnya 
diskotik >_<) ternyata ada sebuah tempat yang menawarkan tempat 
singgah dan tempat belajar bagi anak-anak.
Tak lama kemudian adzan maghrib 
berkumandang. Kami berbuka puasa bersama dengan ta’jil yang sudah 
disiapkan oleh Mak. Kemudian dengan diantar seorang anak (Dini 
memanggilnya Nur), kami mencari masjid. Sambil menunggu yang lain 
selesai sholat, saya mengajak Nur berkenalan. “Kenalan, Ica”, saya 
mengulurkan tangan. Bukannya menyambut tangan saya, Nur malah 
cengengesan dengan tangan yang tetap memegang buntelan kaos. O-ow, 
apakah Nur ikhwan?? Ternyata eh ternyata, di balik buntelan kaos itu ada
 sesuatu yang disembunyikan.
Anak-anak itu tampaknya belum bisa lepas 
dari lem. Kata Kang Ramdhan, anak-anak bisa “ngelem” sampai 20 kaleng 
sehari. Ckckck.. apa kabar sistem respiratori mereka? Jika dikonversi ke
 dalam rupiah, 20 x Rp1500 = Rp30.000. Cukup untuk membeli makanan 
bergizi tiga kali sehari plus sabun mandi.
Saya sempat bertanya pada Nur, “kelas 
berapa?”. Dia menjawab, “kelas dua SMA”. Wah, luar biasa ternyata ada 
yang masih bisa sekolah. Di kesempatan lain saya mengajukan pertanyaan 
yang sama pada Nur, “kelas berapa?” dan Nur pun menjawab, “seharusnya 
kelas dua SMA.”
Selesai sholat, kami makan bersama di 
Rumah Belajar. Seorang gadis cilik, Evita namanya, membagi cilok isi 
telur pada seorang anak laki-laki (lupa namanya!!). Tak disangka,  anak 
laki-laki itu kemudian membagikan kembali potongan-potongan cilok ke 
yang lain! (Terima kasih adik-adik, kalian telah mengajari saya konsep 
“Terima-Kasih”).
Setahu saya, kami akan sholat isya dan 
taraweh berjamaah. Tapi entah kenapa sesampainya di madrasah kami malah 
langsung sharing dan heboh bermain bersama anak-anak. Sampai akhirnya 
Teh Ipit men-cut dan menyarankan untuk mengajak anak-anak sholat. 
Mengajak anak-anak wudhu membutuhkan kelincahan rupanya. Jangan sampai 
kita kalah lincah, kalah gesit dalam menangkap anak-anak yang malas 
wudhu. Saya jadi bertanya dalam hati, siapa yang selama ini memerhatikan
 wudhu dan sholat mereka?
Setelah sholat, kami membentuk lingkar 
wacana bersama anak-anak dan para Ayah-Bunda. Pak Gamesh berbagi cerita 
tentang asal-muasal anak-anak, keseharian mereka, dan banyak hal lagi.
Usai berbagi cerita, kami melaksanakan 
investigasi langsung ke pasar. Ternyata ada suatu tempat yang… amazing 
bagi saya, tempat yang lapang di mana saya bisa memandang bintang. 
Seolah kami dan langit sejarak lantai dengan atap rumah (lebay).   Di 
tempat itu ketahuanlah siapa yang narsis dan siapa yang tidak (dan 
semuanya narsis rupanya). Tak lama kemudian, potret-potret kami sudah 
ter-save di memori kameranya Dini.
Oh ya, Nur memetikkan saya sekuntum bunga
 lili putih!! Hmm.. wangi. Andai dia menyadari, bahwa wangi lili ini 
lebih sedap daripada lem aibon paling wangi sekalipun…
Malam semakin tua, sudah saatnya kami 
istirahat. Kami pun kembali ke madrasah. Akhwat bobo di dalam, ikhwan 
tidur di luar (begitu, kan? ^_^).
Dini hari kami bangun. Setelah sholat 
sunnah dan makan sahur, ceritanya mau ada muhasabah. Dipilihlah rel 
kereta api sebagai tempat muhasabah supaya feel-nya dapat (supaya merasa
 kita dan kematian begitu dekat mungkin). Muhasabah sesi pertama 
berlangsung syahdu dan baik-baik saja. Di saat muhasabah kedua, 
terjadilah sebuah moment yang menarik, bunyi peluit panjang kereta api 
membubarkan lingkaran muhasabah kami.  Akhirnya kami mengungsi ke 
pinggiran. Sayangnya bunyi peluit tadi sudah berhasil merusak flow. 
Sepuitis-puitisnya Ka Gib ternyata belum mampu mengembalikan kekhusyukan
 sesi pertama. ^o^v
Saya ternyata baru bisa menjadi narrator, belum mampu menjadi esensor apalagi solutor (lho?!)
Yang terpikir sih baru hal-hal berikut ini :
Saya tidak terlalu tahu kegiatan belajar mereka di Rubel seperti apa dan intensitasnya bagaimana.
Ini masukan dari ibu, sebaiknya anak-anak
 itu disekolahkan ke sekolah formal supaya mereka mendapatkan pendidikan
 secara lebih “profesional” dan mengurangi intensitas mereka bekerja di 
jalanan. Untuk anak-anak yang usianya sudah lewat, bisa dimasukkan ke 
program-program seperti paket A, B, atau paket C. bisa juga mereka 
dimasukkan dalam kursus-kursus keterampilan, seperti computer, bahasa, 
menjahit, memasak, de el el. Diharapkan nantinya mereka bisa 
bersosialisasi dengan anak-anak non-jalanan dan mendapat ijazah resmi.
Kendalanya adalah biaya, kesadaran mereka, dan ada tidaknya pihak yang mau mengurusi.
Berhubung biaya hidup dan biaya sekolah 
sudah meroket, anak-anak tersebut tentu saja membutuhkan bantuan dari 
pihak lain. Dari Dinas sosial misalnya (bisa nggak sih?), atau semacam 
GNOTA (Gerakan Nasional Orang Tua Asuh), atau dari kakak asuh (satu 
orang kakak membiayai satu orang adik). Lebih baik lagi kalau ada yang 
mau mengadopsi anak-anak itu. Intinya mah, angkat mereka dari jalanan we
 lah.
2. Mereka harus dibiasakan menghargai uang.
Mungkin, sekali lagi mungkin, yang 
menyebabkan mereka kurang bersemangat mengubah diri adalah karena mereka
 berada di “zona nyaman”. Seperti kata Kamal, makan mereka disediakan, 
fasilitas lain juga diberikan membuat mereka jadi malas berusaha (nggak 
begitu juga sih). Yang saya pikirkan, makanan dan fasilitas lain tetap 
kita yang memberi, tapi mereka nggak mendapatkannya dengan Cuma-Cuma. 
Missal, mereka “membayar” makanan tersebut (tentu saja 
di-sangatmurah-kan). Nantinya uang itu ditabung untuk keperluan mereka 
juga. Nah masalahnya apakah mereka mengerti dan mau?
—————————————————————————————————————————–
Pasar Ciroyom, kawasan yang tidak terlalu
 jauh dari ITB (hanya satu kali naik angkot jurusan Cicaheum-Ciroyom), 
menjadi saksi perkembangan jiwa-jiwa kecil generasi muda Indonesia. 
Anak-anak yang dalam kesehariannya berlarian dalam debu jalanan, 
teriakan pasar, gunungan sampah,.. mereka juga berhak menjadi batu-bata 
yang akan membangun peradaban dunia.

0 comments:
Post a Comment