Oleh: Nadia Juli Indrani (Biologi 2007)
“Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.”
(Pasal 34 ayat 1 UUD 45)
Untaian kata-kata pada pasal 34 diatas
pastinya sudah sering kita dengar saat guru-guru PPKN atau PMP atau
apalah namanya sekarang mengajar di sekolah dasar. Yah sebuah kalimat
“Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara” yang
kenyataannya masih diragukan. Sabtu kemarin (5 September 2009) sebuah
organisasi keislaman Al-Hayaat SITH ITB mengadakan sebuah acara buka dan
sahur bersama anak-anak jalanan Ciroyom. Acara yang semula dikira biasa
saja ini ternyata mengungkap sebuah fakta yang mengiris sanubari hati.
Saat pertama menjumpai anak-anak jalanan,
kesan pertama yang ditimbulkan adalah mereka kotor, dekil, dan bau, bau
tanah, bau keringat, dan bau lem. Lalu aku memasuki sebuah rumah kayu
kecil yang aku kira itu sebuah rumah lesehan ternyata itu adalah sebuah
rumah belajar, Rumah Belajar Sahaja. Di dalam rumah itu terlihat
beberapa tumpukan buku dan sebuah papan tulis tempat sang pengajar dan
para murid belajar, ternyata rumah kayu yang
mungil ini adalah rumah dimana mereka mendapat pengajaran meski hanya
sekedar belajar calistung (baca, tulis, dan berhitung). Aku pun duduk
dirumah kayu itu, rumah yang hanya beralaskan tikar namun cukup hangat,
melihat di sekeliling, duduk bersama pengurus dan beberapa anak jalanan,
dan mendengarkan celotehan-celotehan lucu mereka, menggelikan itu yang
aku rasakan, mereka sangat polos dan sangat membutuhkan belaian kasih
saying dari orang-orang sekitar. Sambil bersantap buka puasa aku sedikit
berbincang dengan pengurus setempat, dari pembicaraan itu aku tahu
sejarah rumah belajar ini berdiri sampai detail kisah setiap anak yang
berada dibawah nauangan rumah belajar sahaja. Sungguh membuat rasa sesak
di dada untukku, karena dari setiap ceritanya timbul sebuah penyesalan,
sebuah rasa yang lebih menyalahkan diri sendiri pada pemikiran awal
tadi, pemikiran bahwa mereka hanyalah anak-anak yang kotor, dekil, dan
bau.
Seusai makan dan sholat tarawih diadakan acara sharing
antara pengurus, anak jalanan, dan anak-anak Al-Hayaat. Kisah mereka
sungguh mengharukan mulai dari kabur dari rumahnya karena sering
disiksa, menjadi tulang punggung keluarga, sampai mererka pergi karena
keinginan mereka sendiri. Asal daerah merekapun bermacam-macam ada yang
dari Bogor, Bekasi, hingga Riau, waw dahsyat pikirku, mereka kabur dari
rumahnya yang jauh dengan menggunakan kereta ekonomi dan tanpa tiket,
keren. Dari acara sharing itu pun akhirnya aku tahu bahwa mereka selalu ngelem setiap
harinya hingga ada yang mampu ngelem sampai 20 kaleng setiap harinya.
Dengan harga lem perkalengnya Rp. 1500,00 berarti dalam satu harinya
mereka telah menghabiskan uang Rp. 30.000,00 hanya untuk sebuah lem.
Alasan yang mereka ungkapkan bermacam-macam ada yang untuk menahan lapar
dan adapula yang hanya mengikuti teman-temannya.
Aneh, memang terdengar aneh alasan yang
mereka ungkapkan, namun mengapa sebuah lem dapat membuat mereka sangat
ketagihan? untuk menjawab pertanyaan diatas mari kita lihat apa saja
yang terkandung dari lem tersebut dan apa dampaknya. Lem yang sering
digunakan untuk merekatkan sol-sol sepatu ini ternyata memiliki suatu
zat halusinogen yang dapat menyebabkan si penghirupnya berhalusinasi
(Esti, 2009). Selain itu uapnya bersifat iritan. Mengiriitasi mukosa
saluran napas hingga melukai saluran pernapasan sehingga terjadi
keram di otot pernafasan, dan akibat dari keram pernafasan ini adalah
kematian secara mendadak. Uap dari lem ini juga bersifat adiktif bagi
penghirupnya, dan jika dihirup dalam jangka waktu yang lama dapat
menyebabkan kerusakan otak. Ciri-ciri anak yang habis menghirup lem ini
adalah daya respon yang agak lambat (lemot).
Melihat hal yang seperti itu akhirnya
timbul pertanyaan, bagaimana respon PEMDA setempat, namun ternyata belum
ada respon yang berarti dari pemerintahan setempat. Razia-razia lem
yang dilakukan para polisi itu bukannya membuat mereka jera tapi malah
semakin membuat mereka benci pada polisi dan berbohong agar mereka tidak
ditangkap. Sungguh memprihatinkan. Melihat keadaan tersebut dan
kenyataan bahwa mereka suka ngelem akhirnya terpikir bahwa jika mereka
tidak punya uang maka mereka mungkin tidak akan ngelem. Akhirnya timbul
sebuah pemikiran bahwa pemberian uang ke anak-anak jalanan itu tidak
disarankan, mereka lebih baik memberi uang-uang itu langsung pada LSM
terkait atau rumah-rumah belajar terkait. Setiap masuk atau keluarnya
uang hanya pengurusnya yang mengatur, mereka diberi makan dan pengajaran
pendidikan formal dan pengajaran soft skill mereka. Mereka diajarkan
untuk membuat keterampilan tangan yang selanjutnya akan dijual di
pasar-pasar atau mereka berwirausaha sendiri namun tidak diperkenankan
memegang uang sendiri. Pengontrolan akan semua hal ini tentu saja harus
dilakukan dengan sangat ketat dan memerlukan orang-orang hanif untuk
melakukannya dan pastinya memerlukan waktu yang lama untuk
merealisasikannya.
Upaya yang dapat dilakukan dalam jangka
pendeknya adalah pengontrolan secara berkala dan ketat dan penyitaan
lem-lem yang mereka beli. Penyuluhan tentang bahaya ngelem dan
pengajaran agama pun dapat dilakukan. Pemberian hukuman juga dapat
dilakukan jika mereka tidak menurut, karena hal ini harus ditindak
tegas, mereka adalah generasi penerus, mereka adalah asset Negara, maka
sudah selayaknya mereka dibina dan sesuai pasal 34 tadi seharusnya
mereka dipelihara oleh Negara, diberi pendidikan yang layak, diberi
kenyamanan sebagai warna Negara Indonesia. Hal lain yang mungkin dapat
dilakukan adalah penuntutan hak terhadap PEMDA terkait, atau bantuan
sukarelawan yang sungguh-sungguh.
Sekian yang dapat diunggkapkan, semoga
Allah membalas dengan adil apa-apa yang telah dikerjakan untuk
memperjuangkan hal ini. Maaf jika ada kata-kata yang kurang berkenan,
dan tulisan ini di dedikasikan untuk seluruh pengurus Rumah Belajar
Sahaja Ciroyom, semoga Allah memberika yang terbaik. Amin.
0 comments:
Post a Comment