Oleh : Angga Kusnan (Mikrobiologi 2007)
Selama ini mungkin kita tak memahami atau
 memang tidak mau memahami sama sekali. Disadari atau tidak seringkali 
kali mata kita tertutup –sengaja menutup- untuk memahami pesoalan yang 
ada diluar kita. Banyak persoalan sosial tetapi  hanya segelintir orang 
yang tahu dan mau tahu untuk memahami persoalan itu secara mendalam. 
Sebut saja persoalan yang akan saya kaji dalam tulisan ini.
Ciroyom, apa yang anda tahu ketika 
mendengar kata ini. Apakah sebuah pasar biasa layaknya pasar 
tradisional, ataukah sebuah stasiun transit di pinggiran Kota Bandung, 
atau juga sebuah terminal angkutan Umum biasa yang tergabung dengan 
pasar. Secara morfologi wilayah Ciroyom memang perwujudan dari 
ketiganya. Terminal, pasar, dan juga stasiun kereta api. Berperan 
sebagai pasar Ciroyom melakukan fungsinya sebagai salah satu penggerak 
peradaban dengan ciri kumuh sekaligus sibuk. 
Selama sehari semalam pasar ini tidak pernah mati. Selama 24 jam penuh 
terjadi perputaran uang sekaligus perputaran penyakit yang sangat luar 
biasa. Sebagai stasiun transit, tempat ini pun menjadi sangat ramai. 
Merupakan tempat bertemunya orang-orang dari daerah disekitar Bandung 
seperti Sumedang, Garut, bahkan mungkin Sukabumi. Sangat mungkin terjadi
 akulturasi kebiasaan dan watak dari masing-masing daerah. Sebagai 
terminal angkutan Kota, menjadikan Ciroyom sebagai magnet berkumpulnya 
warga Pinggiran Kota Bandung, selain itu menjadikan salah satu simpul 
Polusi yang ada di Kota Bandung. Ketiga peran tersebut sangat 
menggambarkan betapa Ciroyom merupakan daerah yang selalu hidup, sibuk, 
heterogen, dan kumuh.
Perpaduan ketiga peran ini menjadikan
 masalah-masalah sosial terkonsentrasi disini. Premanisme yang menganut 
paham “yang kuat dialah yang berkuasa” menjadi ideologi yang mendarah 
daging di wilayah ini. Lingkungan yang kumuh dan pusat polusi (udara, 
tanah, dan air) membentuk pola hidup yang tidak sehat seperti makan 
sembarangan ataupun budaya nge-Lem pada anak jalanan. Akulturasi watak 
dan kebisaan menyebabkan sulitnya membentuk sebuah sistem yang sehat, 
yang juga disebabkan oleh akulturasi masalah-masalah yang dibawa oleh 
para lakon (anak jalanan, preman, pedagang dll) di Ciroyom ini. 
Kesibukannya menyebabkan masyarakat lebih terfokus pada apa yang mereka 
inginkan yang bersifat materiil dan duniawi. Hal ini juga yang 
menumbulkan adanya sikap acuh tak acuh terhadap permasalahan sekitar 
atau bisa dikatakan terhadap masalahnya sendiri. Tidak adanya pendidikan
 positif yang bersifat kultural menyebabkan rusaknya struktur emosi dan 
spritual pada tempat ini.
Masalah ini memang diawali dari 
heterogennya orang-orang yang bergumul di tempat ini. Kemudian 
dilanjutkan oleh sistem positif yang tidak terbentuk, yang terbentuk 
justru hirarki premanisme yang berlandaskan hukum rimba. Hirarki ini 
kemudian menjelma menjadi sebuah tameng bagi terbentuknya Kekumuhan, 
pola hidup yang tak sehat, pendidikan yang negatif, dsb. Hirarki ini 
bersinergi dengan kesibukan yang tak pernah mati, kesibukan yang 
berlandaskan kepada materiil dan duniawi, yang dari sini membentuk pola 
acuh tak acuh terhadap masalah yang ada atau mungkin membuat mereka tak 
paham jika ada masalah. Hal ini terus terjadi bagaikan lingkaran setan 
yang tidak pernah habis. Ambillah satu kasus yang kemudian kita kenal 
sebagai anak jalanan di Ciroyom. Anak jalanan di Ciroyom cukup unik tapi
 tetap memiliki ciri umum sebagai anak jalanan. Unik karena mereka 
bukanlah warga asli Ciroyom melainkan anak yang terkosentrasi di Ciroyom
 dari berbagai daerah dan dengan latar belakan masalah yang berbeda di 
setiap individu. Memiliki ciri kumuh , kotor, kumal, tak berpendidikan, 
tidak sehat dsb. Umumnya mereka datang dengan membawa segudang masalah 
dan berusaha mencari tempat dimana mereka dapat mengaktualisasikan diri 
secara penuh sebagai anak. Pencarian aktualisasi diri ini memang alami 
dan menjadi naluri bagi setiap anak. Dari sini “perhatian” dari orang 
tua atau siapapun yang mengasuh sangat diperlukan bagi perkembangan 
anak. Masalah yang melatarbelakangi seperti masalah keluarga, yaitu 
orang tua yang bercerai, orang tua menikah lagi namun tidak mendapat 
perhatian secara penuh, dan juga status anak haram yang melekat pada 
anak tersebut sehingga Ciroyom menjadi tempat pembuangan –maaf- anak
Anak-anak tersebut hadir dan 
berkumpul dalam komunitas yang tidak mencerminkan keteladanan positif. 
Mereka disatukan oleh masalah –dengan variasi yang berbeda- yang 
kemudian membentuk karakter mereka. Awalnya mereka menjadi objek dari 
sistem yang mereka infiltrasi perlahan, menjadi korban dari ganasnya premanisme seperti kekerasan seksual, nge-Lem
 (yang ternyata dikoordinir oleh mantan preman demi keuntungan semata) 
dan lain sebagainya. Kemudian mereka akan belajar memahami lingkungan 
yang mereka tempati dan menganggap bahwa ini adalah jalan hidup yang 
harus mereka tempuh dan lewati. Dari proses pemahaman inilah mereka 
nantinya akan meneruskan budaya premanisme bahkan menjadi pelaku utama 
sistem ini di masa yang akan datang. Inilah yang disebut lingkaran setan
 Ciroyom.
Lumpur yang bau masih dapat 
menumbuhkan bunga teratai yang indah, begitu juga Ciroyom yang secara 
sosial nyaris bobrok. Harapan akan struktur masyarakat yang lebih baik 
pasti selalu ada, ibarat mengaharapkan mekarnya bunga teratai di kolam 
lumpur. Masyarakat sekitar yang notabenenya masyarakat asli Ciroyom 
telah paham akan hal ini dan mereka melakukan langkah untuk memproteksi 
terlebih dahulu generasi dan lingkungan mereka. Pembentukan Karang 
Taruna, pendirian Taman Pengajian Al-quran seperti madrasah dan sekolah,
 dan juga Perhatian lebih keluarga terhadap anak-anak mereka. Kemudian 
adanya inisiatif dari LSM yang masih melek untuk membentuk rumah belajar
 bagi anak jalanan langsung, meskipun awalnya sulit namun sekarang 
sistem tersebut telah terbentuk dan rumah belajar menjadi bagian dari 
ekosistem pasar yang diterima oleh setiap komponen pasar seperti preman 
dan anak jalanan itu sendiri. Kini rumah belajar tersebut menjadi 
Biofilter yang menyaring kotoran-kotoran peradaban.
Untuk mengatasi wabah penyakit 
menular maka kita harus memutus siklus dari vektornya (pembawa 
penyakit). Untuk memutus siklusnya maka kita juga harus tahu pola 
kehidupan seperti apa yang ada pada si vektor. Begitu juga 
dalam memutus lingkaran setan Ciroyom. Kita harus paham budaya mereka 
seperti apa, kita harus mengerti latar belakang apa yang menggerakan 
mereka (anak jalan, preman, dll). Kemudian kita bisa masuk di salah satu
 komponennya untuk keudian bergerak secara massif keseluruh komponen. 
Solusi yang telah dilakukan selama ini masih bersifat reaktif dan belum 
terarah, meski sekarang sudah lebih baik karena memiliki acuan dan 
tujuan yang disertai tahapan. Namun masih kurang karena masih menyentuh 
satu komponen. Sebenarnya ini tak jadi masalah selama solusi sistem yang
 diberikan berjalan maksimal dan tak kenal menyerah. Tetapi yang terjadi
 adalah evolusi bukan revolusi sosial. Solusi diatas 
perlu disentuh oleh sentuhan birokrasi yang bersih dan antikorup untuk 
melibas premanisme sampai ke akarnya, bukan dengan razia tangan besi 
dimana justru anak-anak jalanan yang lebih sering menjadi korban. Dengan
 adanya dukungan birokrasi (dalam hal ini Pemkot Bandung) program yang 
dilaksanakan menjadi lebih serius dan terstruktur. Ini juga akan menjadi
 landasan kuat bagi terbentuknya sistem positif yang kokoh dan kuat. 
Kemudian masyarakat sekitar yang sudah membangun sistem proteksi kini 
mulai mengarahkan sasarannya kepada anak-anak jalanan langsung. Program 
yang diusulkan adalah (Gering) Gerakan Sadar Ririungan, dimana gerakan 
kesadaran masyarakat utnuk mengubah lingkungan sekitar, ririungan disini
 berarti seluruh komponen baik itu stakeholder, tokoh agama, 
tokoh masyarakat, memiliki komitmenn untuk menyelesaikan masalah ini. 
Substansi yang dibawa pada program Gering ini adalah “Kasih Sayang dan 
Pendidikan untuk Peradaban”. Dengan visi dan misi dari program yang 
terarah Insya Allah Ciroyom akan berubah. Masih ingat dengan Kalijodo, 
Saritem, dan Kramat Tunggak yang menjadi Islamic center saat ini. Mereka
 adalah contoh dari revolusi sosial yang terintegrasi dan sistematis.
“Ciroyom hanyalah salah satu dari 
dari ribuan ekosistem yang bobrok, masih banyak tempat lainnya yang 
menjadi tugas besar dalam pewujudan peradaban yang madani”

0 comments:
Post a Comment