Event

Event
Kegiatan mahasiswa yang akan, sedang, dan telah dilakukan.

Info dan Pengumuman

Info dan Pengumuman
Info tentang organisasi, anggota, majelis ilmu, dan berita eksternal lainnya.

Wahana Berpendapat

Wahana Berpendapat
Silahkan menyampaikan saran, kritik, dan pendapatnya.

cover photo

cover photo

Sebuah pesan dari Umar bin Khattab

| Thursday, December 31, 2009
"Ajarkanlah anakmu seni dan SASTRA, karena sastra itu akan membuat anak yang pengecut menjadi pemberani".

Ayo ayo, sebagai calon saintis dan engineer ataupun yang sudah bergelar S.Si dan S.T mari kita belajar seni dan juga sastra, apalagi yang mau bikin jurnal dan TA, kita harus belajar tata cara tulis menulis yang baik dan benar kan, hehe (apaan sih ga penting -,-)
Baca selengkapnya »

Suatu Kajian Terhadap Sisi Lain Kehidupan

| Wednesday, December 30, 2009
Oleh: Falma Kemalasari (Biologi 2008)


Bicara tentang realita kehidupan jalanan, izinkan saya memulai dari realita yang ada di suatu tempat. Pasar Ciroyom. Ciroyom merupakan pasar induk yang berfungsi sebagai penyedia kebutuhan sehari – hari penduduk. Namun, bagi beberapa gelintir golongan, seperti anak – anak jalanan, pasar ini juga berfungsi sebagai tempat bernaung , tempat mencari nafkah, hingga tempat  menjalani kehidupan. Realita yang dapat diamati di sini mungkin mewakili realita yang dapat kita temui pada kehidupan anak jalanan di kota –kota besar lainnya. Banyaknya anak yang putus sekolah, bekerja sebagai pengamen, kuli angkut, pembersih gerbong kereta, dan peminta – minta, banyaknya anak yang terjerumus dalam penyalahgunaan inhalan (khususnya dengan media lem), serta banyaknya anak yang terpisah dari keluarganya pada tahap perkembangan psikologis yang masih sangat membutuhkan bimbingan orang tua, adalah beberapa realita permasalahan anak jalanan yang tercermin dari kehidupan mereka yang tinggal di Ciroyom.

Pada essay kali ini, saya ingin memfokuskan pembahasan pada masalah penyalahgunaan inhalan oleh anak – anak jalanan karena penggunaan inhalan yang tidak pada tempatnya ini akan memberi dampak yang dapat dirasakan seumur hidup mereka.Ketergantungan inhalan dapat merusak fungsi otak, fungsi koordinasi tubuh, kemampuan berbicara, serta kecerdasan. Padahal hal – hal tersebut merupakan bekal bagi seorang anak untuk tumbuh dan berkembang dengan normal. Oleh karena itu, penanggulangan ketergantungan anak –anak jalanan tersebut pada inhalan, menurut saya, adalah hal yang paling penting untuk dikaji dan dicari solusinya.

Menurut literatur, inhalan adalah bahan uap yang mudah menguap saat dihirup, serta memiliki sifat depresan yang memperlambat fungsi koordinasi tubuh. Contoh inhalan antara lain aerosol, aica aibon, isi korek api gas, cairan dry cleaning, uap bensin, vernis, cairan pemantik api, lem, semen karet, cairan pembersih, cat semprot, semir sepatu, cairan tip-ex, perekat kayu, bahan pembakar aerosol, pengencer cat (tinner). Penyalahgunaan inhalan berarti menggunakan inhalan tersebut bukan untuk fungsi yang semestinya. Bila dihirup zat-zat tersebut akan menimbulkan perasaan euphoria, kegembiraan, serta perasaan mengambang yang menyenangkan, semacam reaksi yang dirasakan pengguna narkoba. Hal ini menyebabkan banyak terjadi penyalahgunaan inhalan untuk menanggulangi depresi. Namun, pada dosis tinggi zat ini juga dapat mengakibatkan halusinasi, ketakutan, hingga distorsi ukuran tubuh.  Inhalan adalah zat yang berbahaya, tapi nyatanya fakta – fakta di lapangan sebagian besar menyatakan bahwa penyalahgunaan produk – produk inhalan ini adalah penyalahgunaan yang paling sering digunakan oleh anak – anak dan remaja, terutama mereka yang hidup di jalanan.

Untuk memecahkan masalah penyalahgunaan inhalan oleh anak jalanan, mungkin akan lebih mudah bagi kita untuk terlebih dahulu menganalisis latar belakang penyalahgunaan tersebut. Realita kehidupan yang dialami oleh anak – anak jalanan mungkin akan sulit dipahami bila tidak dialami sendiri. Karena realita bukanlah ilmu pasti yang dapat diprediksi maupun dipelajari seperti buku yang terbuka, saya hanya dapat berteori. Menurut saya, sebagaimana penyalahgunaan zat – zat adiktif lainnya, penyalahgunaan inhalan terutama dipicu oleh faktor depresi dan keadaan psikologis yang tertekan. Inhalan dipergunakan sebagai media untuk meringankan perasaan depresi yang dirasakan anak – anak tersebut. Latar belakang penyalahgunaan inhalan ini dapat dilihat dari 3 segi latar belakang , yakni keluarga, lingkungan, dan pendidikan.

Ditinjau dari latar belakang keluarga, banyak anak jalanan yang memiliki status keluarga yang tidak jelas. Beberapa memiliki orang tua lebih dari satu pasang, beberapa merupakan korban perceraian, beberapa bahkan tidak mengetahui di mana orang tua mereka. Di lain pihak, umumnya anak – anak pengguna inhalan berusia antara 10 hingga 18 tahun, bahkan lebih muda. Usia ini merupakan usia pembelajaran yang masih sangat butuh bimbingan, terutama dari orang tua. Saat keluarga mereka dalam keadaan yang tidak jelas, orang tua mereka yang sibuk dengan urusan lain, anak –anak tidak dalam kondisi yang dapat menerima bimbingan maupun pembelajaran apapun sehingga menyebabkan ada proses pembelajaran yang hilang dari kehidupan mereka. Hal ini mengakibatkan proses pencarian pembelajaran serta bimbingan tersebut dilakukan pada orang – orang di luar keluarga mereka. Di sinilah peran lingkungan masuk dalam proses pembentukan diri seorang anak. Pada kasus anak jalanan, ketika di rumah dan keluarga mereka tidak menemukan apa yang seharusnya mereka temukan, seperti kasih sayang dan perhatian, maka mereka akan mencari hal – hal tersebut di jalanan. Hingga akhirnya kehidupan di jalanan menjadi kehidupan nyata yang bebas dan lebih menyenangkan untuk mereka. Namun, bebasnya kehidupan jalanan pulalah yang akhirnya mengenalkan mereka pada zat –zat seperti inhalan sebagai suatu solusi permasalahan. Di lain pihak, latar belakang pendidikan yang rendah pada anak – anak jalanan tersebut juga mendukung terjadinya penyalahgunaan inhalan. Setelah lingkungan mengenalkan mereka pada inhalan, latar belakang pendidikan yang rendah mengakibatkan mereka mudah mempercayai penggunaan inhalan tersebut sebagai solusi permasalahan mereka, hingga akhirnya mereka jadi ketergantungan. Ketiga faktor latar belakang tersebut saling mendukung sehingga penyalahgunaan inhalan akhirnya menjadi bagian dari kehidupan anak – anak jalanan.

Setelah berteori memprediksi hal – hal yang menjadi faktor anak – anak tersebut menghirup inhalan, maka kita dapat berteori serta menganalisis solusi yang dapat diterapkan. Solusinya akan lebih mudah ditinjau dari tiga segi pula, yaitu keluarga, lingkungan, dan pendidikan. Dari segi keluarga, mungkin ini merupakan persoalan yang cukup rumit sebab melibatkan banyak pihak. Namun, tetap harus ditemukan solusi karena segalanya dimulai dari keluarga sebagai lingkungan terdekat dengan kehidupan anak. Kemungkinan solusi yang dapat diterapkan antara lain dengan membangun konseling rutin bagi para orang tua mengenai kehidupan keluarga serta bagaimana cara mendidik anak. Konseling ini memang butuh pendekatan secara personal dan teratur sehingga dibutuhkan banyak tenaga sukarelawan dan butuh proses yang memerlukan waktu. Namun diharapkan dari konseling ini orang tua akan lebih menyadari perannya dalam kehidupan anak – anak mereka. Bagi anak – anak jalanan yang telah kehilangan orang tua, ada baiknya diusahakan program seperti orang tua asuh atau kakak asuh. Namun, program seperti ini juga butuh proses, tidak seperti proses pengadopsian anak dari panti asuhan di mana sang anak langsung dibawa masuk ke kehidupan orang tua asuh, program orang tua asuh untuk anak jalanan harus dibedakan. Mereka yang telah terbiasa dengan bebasnya kehidupan di jalanan tidak akan tahan bila langsung dibawa ke kehidupan yang sangat berbeda. Orang- orang yang akan menjadi orang tua asuh harus bisa bersabar melakukan pendekatan personal pada anak – anak tersebut serta sedikit banyak ikut terlibat dalam kehidupan mereka di jalanan. Hal ini untuk menghindari kasus kaburnya anak – anak tersebut kembali ke jalanan ketika mereka tidak dapat beradaptasi saat di bawa ke dalam kehidupan orang tua asuhnya.

Selain keluarga, solusi lain dapat diterapkan pada segi pendidikan. Putus sekolah karena tidak ada biaya merupakan ciri yang umum ditemukan pada anak-anak jalanan. Namun, pendidikan dapat diperoleh dari mana saja. Bila memungkinkan, dapat diupayakan dana demi menyekolahkan anak – anak tersebut ke bangku sekolah umum lagi, tapi akan sulit memasukkan anak – anak tersebut ke sekolah bila mereka masih hidup di jalanan dan harus mencari nafkah setiap hari. Solusi lain adalah dengan mengadakan pendidikan di tempat mereka tinggal, pendidikan yang sesuai dengan jadwal rutinitas mereka dan sesuai dengan kebutuhan mereka. Pendidikan yang diberikan tidak sebatas pendidikan baca tulis dan berhitung, tapi juga pendidikan yang bertujuan agar mereka dapat mengaplikasikannya pada kehidupan mereka di jalanan. Contohnya pendidikan motivasi diri seperti bagaimana mengelola stress, menjalani kehidupan, dan motivasi berprestasi, pendidikan agama, tentang bagaimana shalat dan puasa, bersyukur serta bersabar, pendidikan kesehatan seperti sanitasi dan bahayanya inhalan, hingga pelatihan keterampilan yang dapat menjadi bekal bagi kehidupan mereka. Bentuk pendidikan ini nantinya juga dapat membuat kegiatan – kegiatan sebagai penyaluran seni dan ekspresi emosi yang terpendam dalam diri anak – anak tersebut sehingga sedikit demi sedikit aktivitas mereka menghirup inhalan akan berkurang. Tentu pendidikan seperti ini butuh pengajar yang banyak serta dapat membawakan pengajaran dengan ringan dan mudah dimengerti. Namun dengan adanya pendidikan seperti ini, diharapkan apa yang anak – anak jalanan tersebut peroleh dari pendidikan dapat mengisi kekosongan ilmu – ilmu yang seharusnya diperoleh di rumah. Jadi, solusi ini dapat menjadi pendukung solusi bagi permasalahan keluarga yang telah dibahas sebelumnya.

Selain pendidikan kehidupan, sebaiknya didirikan lembaga rehabilitasi bagi penyalahgunaan inhalan. Lembaga rehabilitasi ini diperlukan untuk menangani tahap kecanduan pada anak – anak jalanan tersebut. Merehabilitasi seseorang  bukanlah hal yang dapat dilakukan semua orang, butuh tenaga khusus untuk memastikan orang yang direhabilitasi tidak kambuh lagi sehingga perlu adanya suatu lembaga rehabilitasi bagi pengguna inhalan terutama bagi anak – anak jalanan. Lembaga rehabilitasi ini harus secepatnya diwujudkan karena semakin lama anak –anak jalanan tersebut menghirup inhalan, semakin sulit bagi mereka untuk lepas dari ketergantungannya.

Mencari solusi untuk diterapkan dari segi lingkungan anak – anak jalanan tersebut mungkin hal yang paling sulit karena melibatkan begitu banyak komponen dan skala yang luas. Lingkungan anak jalanan mungkin juga dapat diubah dengan pendekatan bimbingan dan pendidikan. Namun butuh waktu yang cukup lama serta perlu diperolehnya kepercayaan dari komponen – komponen kehidupan di lingkungan tersebut. Menerapkan suatu solusi di suatu lingkungan seperti layaknya mengubah dan membangun suatu peradaban, dibutuhkan rencana yang jelas dan jangka panjang sehingga perlu dipikirkan sebaik – baiknya.

Selain solusi – solusi yang saya kemukakan di atas, menurut saya, mungkin dapat dibentuk suatu lapangan kerja yang secara tidak langsung dapat melokalisasikan anak – anak jalanan tersebut di suatu tempat tertentu dengan pekerjaan yang disesuaikan, baik dari segi bobot kerja, waktu kerja, serta penghasilannya disesuaikan dengan kapasitas masing – masing anak. Lapangan kerjanya dapat berbentuk kerja sosial seperti membantu di panti jompo, di panti asuhan, hingga penampungan pengungsian. Dengan ini diharapkan mereka dapat mengenal kehidupan lain di luar kehidupan mereka, di samping mereka juga ikut membantu orang serta belajar bertanggung jawab. Pekerjaan mereka juga dapat menjadi saran penyejahteraan sosial bagi komponen kehidupan sosial lainnya dan mereka pun terlatih untuk lebih menyayangi serta memperhatikan sesama. Program ini dapat diselenggarakan dalam bentuk kerja sama dengan pemerintah, terutama departemen sosial. Namun, apakah lapangan kerja seperti ini termasuk bentuk eksploitasi tenaga kerja di bawah umur? Sementara di lain pihak pekerjaan yang selama ini digeluti oleh anak – anak itu merupakan pekerjaan untuk orang dewasa?

Di sisi lain, penyusunan essay ini melahirkan beberapa pertanyaan baru di pikiran saya. Ada UUD 45 yang mencantumkan bahwa fakir miskin dan anak jalanan di tangggung oleh pemerintah. Memang kita tidak boleh selalu menyalahkan pemerintah, tapi sebenarnya dalam bentuk apakah tanggungan tersebut dimaksudkan? Apa saja yang telah dilakukan pemerintah untuk memenuhi kewajibannya terhadap anak – anak jalanan? Apakah pemerintah hingga saat ini belum tahu bentuk tanggungan dari kewajiban mereka terhadap para anak jalanan tersebut? Bila ternyata belum, dapatkah kita sebagai mahasiswa menangani rancangan bentuk “tanggungan pemerintah terhadap anak jalanan” tersebut dan menjadi semacam agen pelaksana sehingga pemerintah hanya perlu mengalokasikan dana serta melakukan pengujian dan persetujuan terhadap rencana yang disusun mahasiswa?
Baca selengkapnya »

Ramadhan dan Anak Jalanan

| Tuesday, December 29, 2009
Oleh: Maliki Utama Putra (Biologi 2007)


Kedatangan bulan Ramadhan merupakan momen yang memiliki keistimewaan tersendiri bagi seluruh umat muslim karena berbagai macam kebaikan yang ditawarkan di dalamnya. Hal tersebut turut dimanfaatkan oleh Lembaga Dakwah Mahasiswa Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB dengan menyusun agenda yang terangkum sebagai proyek dengan sebutan “Peramal” atau Pelayanan Ramadhan Al-Hayaat. Salah satu agenda penting yang dijalankan berjudul “Ramadhan Dengan Mereka” (RDM)  yang melibatkan anak-anak di sekitar Pasar Ciroyom sebagai salah satu bentuk apresiasi terhadap realita masyarakat yang tersembunyi di balik gemerlap kehidupan perkotaan, khususnya di Kota Bandung. Kegiatan ini berlangsung pada tanggal 5-6 September 2009 dan mengambil tempat di sekitar kompleks Pasar Ciroyom dengan bimbingan dari berbagai pihak yang tergabung dalam organisasi yang dikenal dengan nama “Rumah Belajar Sahaja Ciroyom.” Melalui kegiatan ini, anak-anak Pasar Ciroyom dengan berbagai latar belakang yang mereka jalani sempat menjelaskan seluk-beluk kehidupan mereka yang sebagian besar memuntahkan emosi para pendengarnya.

Cukup banyak manfaat yang saya peroleh dengan mengikuti kegiatan ini. Seringkali kita beranggapan bahwa dengan memberikan uang kecil atau receh bagi anak jalanan sudah merupakan wujud kepedulian kita bagi mereka, akan tetapi kenyataannya tidak demikian. Uang yang mereka peroleh tidak lain hanya untuk memenuhi kebutuhan sesaat mereka yang bahkan di luar kebutuhan primer yang orang ketahui seperti makan dan minum. Contoh yang terlihat pada anak-anak Pasar Ciroyom adalah bagaimana uang tersebut digunakan untuk memenuhi ketergantungan mereka pada benda-benda yang adiktif seperti rokok dan Lem Aibon (metonimia). Dari informasi tersebut saya kembali menyadari pentingnya menempuh solusi lain terutama yang bersifat jangka panjang sehingga bentuk dari kepedulian kita terwujudkan dengan baik sedikit demi sedikit dengan ikut membaiknya kehidupan mereka.

Kemiskinan tidak dipungkiri menjadi akar permasalahan yang terlihat pada anak-anak Pasar Ciroyom yang saya temui, namun tidak selalu hal tersebut dapat dijadikan alasan untuk mempertahankan keadaan yang dialami oleh mereka saat ini. Kemiskinan merupakan faktor yang bersifat statis dengan manusia yang menjalani sebagai faktor dinamisnya sehingga perubahan yang diinginkan selayaknya bukan merupakan hal yang mustahil untuk diwujudkan. Pendidikan saya rasa harus menjadi hal yang dititikberatkan. Dengan pendidikan, banyak hal baru yang akan mereka peroleh dibandingkan kehidupan lampau mereka yang hanya dihabiskan di jalan dengan aktivitas yang sama setiap harinya. Karena hal-hal tersebut diharapkan mereka dapat keluar dari zona nyaman mereka dan termotivasi untuk kembali membentangkan impian hidup mereka dalam ruang lebih luas yang tercipta oleh pendidikan serta dorongan moril yang melimpah dari lingkungannya.
Baca selengkapnya »

Catatan Ramadhan Dengan Mereka

| Monday, December 28, 2009
Oleh: Dian Magfirah Hala (Biologi 2008)


Kawan, beberapa waktu yang lalu, saya berkesempatan ikut acara Ramadhan Bareng Mereka di Pasar Ciroyom Bandung bareng pengurus al Hayat ITB lainya. Acara apa sih?? Acara ini adalah agenda spesial ramadhan yang udah dirancang oleh al Hayat jauh hari untuk para pengurusnya. Merupakan acara buka puasa dan sahur bareng dengan anak-anak jalanan yang ada di  Pasar Ciroyom. Ngapain aja?? Berikut, saya akan coba menceritakan pengalaman semalam itu ma kalian. Semoga berguna,..

Tiba di pasar ciroyom, kira-kira jam setengah delapan malam, kami dijemput oleh kawan lain yang telah lebih dulu sampai untuk diantarkan ke tempat berlangsungnya acara. Mulanya, acara RBM ini akan diadakan di Rumah Belajar Ciroyom (Rubel Ciroyom) yang letaknya di tengah pasar, namun karena tempatnya yang begitu kecil makanya pelaksanaannya dialihkan ke salah satu ruang kelas madrasah tak jauh dari Rubel. Untuk sampai ke tempat acara, kami harus melewati jalan pasar ciroyom. Bertemu dengan para pedagang yang sibuk mengatur dagangannya, para sopir mobil angkutan barang, serta orang-orang yang hanya duduk ngobrol atau ngopi, ternyata membuat bulu kuduk saya berdiri! Kalau dianalogikan dengan bakteri yang berada dalam lingkungan yang tak menguntungkan, maka malam itu saya  telah berbentuk kista. Hhahahha, berlebihan yak?? Tapi begitulah kawan! Percaya deh! Gambaran buruk tentang pasar dan orang-orangnya membuat sistem perlindungan terhadap diri ini meningkat, apalagi saat itu udah jauh lewat dari jam malam akhwat. Namun, dari perjalanan menyusuri pasar ini juga, ada pelajaran baru yang bisa saya dapatkan. Apa itu?? Yaitu bahwa ternyata ada juga orang-orang, saudara kita yang justru malam harinya adalah waktunya mencari rejeki Allah, sementara orang lain terlelap dalam tidur. Ga kebayang yah kalo mereka-mereka itu adalah orang tua kita?? Kerja keras banting tulang dari awal malam, hingga menjelang dini hari untuk menghidupi keluarganya. Sementara itu, kita anak-anaknya dibiarkannya tidur dengan lelap di rumah untuk sekolah besok pagi. selain itu, buat sebagian orang, malam hari merupakan waktu tepat untuk kumpul keluarga. Ayah ibu telah pulang dari kerja, anak-anak juga telah kembali ke rumah. Tapi gimana yah dengan orang-orang yang saya temui ini???adakah mereka punya waktu berkumpul dengan keluarganya juga??saat anak-anak mereka pulang dari sekolah, orang tuanya justru telah bersiap-siap mencari nafkah. Subhanallah… Maha Suci Allah yang mengatur segala kegiatan makhluk-Nya.

Ketika di perjalanan, saya membayangkan bahwa anak-anak jalanan itu bakalan duduk rapi sambil main-main bareng atau ngobrol bareng dengan panitia. Tapi ternyata,.SURPRISE!!! Begitu masuk ke ruangan, yang ada adalah anak-anak jalanan itu berseliweran, lari-larian kesana kemari kayak gundu yang melesat di tanah disentil pemiliknya! Gerakannya cepat, out of control. Saking terkejutnya, saya dan teman lainnya yang datang bersamaan cuma bisa bengong dan bingung ga tahu harus berbuat apa. Sedangkan,teman-teman yang udah lebih dulu datang malah udah berbaur dengan mereka, maksudnya ikut bermain, lari-larian bareng mereka. Ckckckkc, adaptasi yang cepat yah???salut loh!d^^b

Kawan, saat melihat anak-anak jalanan itu, jujur saya bilang kalo ada sedikit rasa jijik yang muncul di hati. Bagaimana tidak??Kulit mereka hitam kusam, rambut pirang awut-awutan, badan dan kaki yang penuh debu, serta baju yang entah sudah dipakai berapa hari membuat saya berpikir berulang kali untuk merangkul mereka. Belum lagi berbagai pikiran negatif tentang bakteri dan segala macam panyakit terus berkecamuk di kepala saya. Namun, kemudian saya teringat bahwa yang membedakan makhluk Allah di hadapan-Nya itu bukanlah fisik ataupun tampilan makhluk tersebut, melainkan ketaqwaannya pada Allah. Saya lalu sadar kalo saya tidaklah lebih baik dari mereka di hadapan Allah. Boleh jadi, justru mereka yang derajatnya lebih tinggi di hadapan-Nya. Astaghfirullah!!! Saya, engkau, mereka sama-sama tercipta dari setetes air mani yang hina, sehingga kita semua adalah sama dan tak ada yang patut disombongkan. Hanya saja, mungkin nasib yang memposisikan kita sedikit lebih beruntung dari mereka. Akhirnya, setelah berhasil mengusir rasa itu, saya pun kemudian ikut berbaur dengan teman-teman yang lain untuk bermain brsama mereka (anak-anak jalanan tersebut). Dan tenyata rasanya biasa saja kok! Hee,.. secara saat itu juga saya belum mandi sore, jadi ga terlalu merasa bersih banget.. Hahahhaah. (Jangan dicontoh ya! Baik itu kesombongannya, ataupun ga mandinya..)

Belum lama rasanya main-main dengan anak-anak itu, seorang Ibu kemudian berusaha menenangkan keadaan. Ups! Ternyata saya baru sadar bahwa ada orang lain selain kami dari al Hayat, dan anak-anak jalanan itu yang juga ada di ruangan itu. Si ibu lalu berkata pada kami agar sebaiknya adik-adik (anak-anak jalanan)ini diajak untuk shalat isya sekaligus tarawih bareng dengan kami. Ide yang bagus pikirku, karena saya juga ga tahu sebenarnya rundown acara dari teman panitia seperti apa untuk saat itu. Akhirnya satu persatu anak kami tuntun untuk berwudhu. Umumnya, mereka semua sudah tahu tata cara berwudhu, sehingga tidak perlu kami ajari dari awal lagi. Hanya sedikit perbaikan-perbaikan untuk penyempurnaan wudhu yang kami berikan. Ide untuk memisahkan anak laki-laki dan perempuan untuk berwudhu ternyata agak sulit dilaksanakan. Selain karena mereka memang masih sulit diatur, anak-anak perempuannya juga hanya dua orang dan belum mencapai usia baligh. Jadi, tak apalah dulu, pikirku. Kawan, saat sedang berwudhu itu, tiba-tiba salah seorang diantara mereka berhenti wudhu. Dengan wajah serius, dia berkata,”saya ga akan shalat ah kak. Pakaian saya kotor, ga ada sarung.” Mendengar pernyataan seperti ini diucapkan oleh seorang anak jalan membuat hati ini miris. Ga peduli itu hanya sekedar alasan belaka ataupun bukan, ga peduli dikatakan dalam keadaan sadar ataupun ga sadar. Yang penting adalah darimana kata-kata itu dikeluarkan. Dia, seorang anak jalanan yang mengatakannya. Dia yang-boleh dibilang-dibesarkan oleh jalanan, jauh dari pendidikan agama, ternyata masih mau mempersembahkan penghargaan tertingginya saat akan bertemu Tuhannya, Allah SWT. Masih merasa bahwa pakaiannya belum cukup pantas untuk bertemu dengan Rabb yang Maha Suci. Masih merasa kotor, walaupun yang mengotorinya itu hanyalah debu. Subhanallah! Padahal di luar sana, masih banyak orang-termasuk saya- yang jauh lebih cukup darinya justru hanya memilih pakaian sehari-hari mereka saat akan berhadapan dengan Rabbnya. Tak malukah kita dengannya??? Renungkanlah kawan, dan mari bersama-sama memperbaiki diri.

Shalat isya pun dilakukan  berjamaah di ruang kelas madrasah, kemudian dilanjutkan dengan tarawih. Shalat di tempat sesederhana malam itu memberi nuansa malam Ramadhan yang lain. Kening yang biasanya sujud di dinginnya lantai Salman, malam itu sujud diatas pemukaan karpet usang yang berpasir. Alhamdulillah, Allahu Akbar. Nikmat Tuhan yang mana lagi yang kau dustakan..

Setelah shalat, kami pun duduk membentuk lingkaran bersama dengan adik-adik jalanan, serta orang-orang lain yang belum saya kenal. Menurut panitia, saat itu waktunya life sharing alias ngobrol-ngobrol dengan adik-adik jalanan di sana serta dengan para pengurus Rubel Ciroyom. Ooo, ternyata orang-orang yang belum saya kenal itu adalah para pengurus Rubel Ciroyom. Pantas saja, mereka tampak sudah sangat dekat dengan para adik jalanan di sana. Siapa sajakah mereka??? Mereka ada 4 orang, terdiri Pak Gamesh, bu Eka, teh Iyus, teh Ipiet, dan kang Ramdhan. Mereka adalah orang-orang yang care sama kehidupan para anak jalanan di Ciroyom, yang rela meluangkan sedikit waktu disela-sela aktivitas mereka untuk anak-anak jalanan. Mungkin kau akan mengira bahwa mereka semua adalah warga yang tinggal di sekitar pasar. Tapi, ternyata faktanya adalah ga ada satupun dari mereka yang berdomisili di Ciroyom! Hahhahaha, koq bisa ya nyasar jauh-jauh ke ciroyom?? Saat ditanya, angin apa yang membawa mereka ke Ciroyom, kompak mereka menjawab bahwa keberadaan mereka di sana itu karena kepedulian mereka terhadap kehidupan anak jalanan yang memprihatinkan. Pak Gamesh, yang paling senior diantara mereka berempat justru merupakan salah satu pionir lahirnya Rubel Ciroyom sebagai rumah singgah anak jalanan disana, sekaligus sekolah bagi mereka. Oh ya kawan, jangan pikir mereka ga sesibuk kita-kita loh.. Teh Iyus, the Ipiet, dan kang Ramdhan juga adalah mahasiswa kawan, sama seperti kita.  Hanya saja, mereka telah lebih dulu mengenal adik-adik di Ciroyom, dan telah lebih dulu tergerak hatinya untuk menyumbangkan tenaga dan pikiran mereka untuk membina adik-adik jalanan di sana. Apakah hati kita juga akan sama tergeraknya seperti mereka???? Kembalikan ke hati masing-masing ya kawan..

Forum life sharing malam itu dibuka Pak Gamesh dengan menceritakan awal mula terbentuknya Rubel Ciroyom. Beliau bercerita bahwa bilik kecil di tengah pasar, yang menjadi sekre Rubel Ciroyom ini didaaptkan dengan penuh perjuangan. Bagaimana dulu Rubel itu harus pindah karena diusir orang, sempat juga Rubel direncanakan akan dibangun di atas timbunan sampah pasar, dan berbagai perjuangan lainya hingga akhirnya kini mendapat bilik kecil di tengah pasar itu. Beliau juga bercerita bahwa Rubel ini bukan baru sekali ini dikunjungi oleh orang luar, melainkan sudah ada beberapa kali kunjungan yang diterima Rubel ini. Ada kunjungan dari mahasiswa-mahasiswa PT di Bandung, LSM-LSM, bahkan dari pemerintah setempat. Namun, yang mau care dan turun langsung berkontribusi disana itulah yang kurang. Hee,..seperti biasa,ngomong biasanya lebih enak dari pada bertindak! Cerita beliau kemudian beralih pada cerita tentang anak-anak jalanan disana. Anak-anak yang diceritakan itu juga ikut mendengar, seringkali menimpali Pak Gamesh dengan tambahan-tambahan, ataupun meluruskan cerita si bapak. Walaupun mata beberapa anak sudah sangat redup, samapai-sampai sudah ada yang tidur, tapi mereka masih semangat menceritakan pengalamannya pada kami. Begitu pula dengan kami, ganti-gantian kami bertanya pada mereka ataupun pada pak Gamesh. Menurut cerita pak Gamesh, anak-anak jalanan yang ada di ciroyom ini, umumnya adalah pendatang di Ciroyom. Ada yang asalnya dari Jakarta, Bogor, Bekasi, ada juga yang berasal dari daerah bandung dan sekitarnya. Ketika ditanya tentang latar belakang mereka bisa sampai disana, jawaban yang keluar pun beragam. Ada yang latar belakangnya itu adalah kabur dari paksaan orang tua untuk mencari uang, marah sama orang tua (ayah atau ibu) yang menikah lagi, orang tua yang sudah tiada, atau orang tua yang sudah tak mampu lagi membiayai mereka. Ada juga anak yang menyebutkan bahwa mereka bisa sampai di sana itu karena mengejar (baca:menyusul) abangnya yang telah lebih dulu ada di jalanan. Sedih, dan memprihatinkan. Kalau diperhatikan, umumnya orang tua adalah penyebab utama mereka bisa sampai menggelandang di jalanan. Seorang teman ada yang berkata seperti ini,” Ini dia niy, banyak orang tua yang mau punya anak, tapi begitu punya anak ga mau bertanggung jawab.” Yah, tanggung jawab. Itulah yang menurut saya harus ditanamkan pada diri-diri kita. Keberadaan anak-anak jalanan di sekitar kita mungkin memang akibat kelalaian orang tuanya, tapi tidak bisa juga disalahkan sepenuhnya. Orang tua harus bertanggung jawab atas anak-anak mereka, namun kita juga orang-orang yag ada di sekitar mereka bertanggung jawab untuk mambantu mereka. Pemerintah juga memiliki tanggung jawab yang sama besarnya dalam menangani masalah anak jalanan ini. Bayangkan, jika kita orang-orang di sekitar mereka peduli ama mereka, pemerintah juga begitu, orang-orang kaya juga bgitu, para ornag tua juga begitu, insyaAllah mereka ga akan menggelandang seperti ini. Makanya, ayo kita pendekkan pagar pembatas rumah kita, agar kita bisa tahu ada kesusahan apa yang bisa kita bantu di luar sana. Tinggal di kastil dengan tembok-tembok tinggi di sekitarnya akan menyisihkan kita dari dunia riil, tapi jangan sampai juga  kita hidup bagaikan air mancur yang justru tidak memberi efek bagi lingkungannya yang terdekat. Kawan, hiduplah bagai air sungai yang mengalir. Buat dirinya sendiri membawa manfaat, buat orang lain di sekitarnya juga begitu.

Kawan mungkin kau bertanya-tanya, emang seperti apa kehidupan para anak jalanan itu??? Mereka sehari-hari umumnya bekerja sebagai pengamen di bus atau kereta, ada juga yang bekerja sebagai buruh angkut sayur di pasar, buruh kretek (delman), atau sebagai penyewa alat musik buat teman-teman mereka yang ngamen (hahhaha, jiwa enterpreneur banget yah?). Pendapatan mereka sehari kisaran Rp. 10.000-15.000. Mereka gunakan untuk apa uang itu?? Sebagian mereka sisihkan untuk membeli makanan, namun yang lainnya mereka gunakan untuk membeli lem Aibon. Pernah dengar istilah ‘nge-lem’ kan??? Yah, mayoritas anak-anak jalanan di sana telah kecanduan aroma lem tersebut alias kecanduan nge-lem. Entah siapa yang mengajari mereka mengenal barang yang dapat menurunkan kerja otak itu. Lem ini, bukanlah barang yang sulit untuk mereka dapatkan, seperti halnya obat-obatan terlarang. Lem ini bisa dengan mudah mereka dapatkan di lingkungan pasar, karena lem ini dijual bebas. Wong biasanya dipakai untuk lem kayu kok! Cukup dengan uang Rp1500,00, mereka bisa dengan mudah mendapatkan barang itu di tangan. Menurut pengakuan mereka, dalam sehari itu, mereka bisa saja mengkonsumsi lem aibon mulai dari 2 kaleng per harinya sampai 20 kaleng per harinya! Ckckckck, bisa mabok seharian tuh..  Biasanya, mereka mengkonsumsi lem ini dengan mengotrek-otrek isi kaleng dengan potongan lidi, ataupun memasukkannya dalam baju mereka untuk dihirup.  Saat ditanya enaknya nge-lem, mereka hanya tersenyum dan bilang,”enak aja.” Literatur membahas bahwa aroma yang dimiliki lem tersebut itu mampu memberi efek nge-fly buat orang yang menghisapnya. Efek ini, membuat orang untuk sementara waktu mendapat kesenangan, imajinasi, sehingga mereka mampu menghilangkan rasa dingin akibat angin, sakit, capek karena seharian kerja keras, dan ksenangan-kesenangan semu lainnya. Aroma lem ini juga menciptakan kecanduan buat penghirupnya. Dari segi bahaya kesehatannya, lem ini tidak seberbahaya obat-obatan terlarang. Akan tetapi, bila kebanyakan menghirup baunya, maka orang akan lemot dalam berpikir, susah konsentrasi, dan kerja serta kemampuan otaknya menurun. Untuk itu, kata teh Ipiet yang saat ini masih kuliah di UPI Bandung, sebelum mengajari mereka pelajaran-pelajaran sekolahan, hal pertama yang harus dilakukan adalah menyingkirkan lem itu sejauh-jauhnya dari mereka. Ternyata, hal itu tidak semudah membalikkan tangan kawan! Kadang kita harus tega melihat mereka meronta-ronta saat lem itu ditarik paksa  dari tangannya, kadang pula, kata bu Eka, kita harus bergulat memperebutkan lem itu denga mereka. Saat lem itu berhasil kita singkirkan, maka mereka tidak kehabisan akal untuk kemudian membeli lagi yang baru. Mereka bahkan rela ga makan, asalkan bisa nge-lem. Yah, seperti itulah yang dilakukan kawan-kawan kita seperti Pak Gamesh, bu Eka, dan lain-lain. Mereka melindungi anak-anak jalanan itu dari ketergantungan terhadap lem yang merusak, walaupun terkadang berarti harus bertindak tegas ataupun kejam terhadap mereka. Mereka menerapkan prinsip reward and punish buat anak-anak jalanan didikan mereka. Seperti halnya di bulan ramadhan ini, mereka mengajak anak-anak jalanan itu untuk ikut shaum. Buat mereka yang shaum-termasuk dari nge-lem-, diberikan buka puasa dan sahur gratis. Selain itu, para anak jalanan itu juga akan mendapatkan baju baru di hari lebaran nanti. Nah, buat mereka yang bandel ga mau shaum, maka tidak akan mendapat makanan begitu juga baju. Juga tidak akan diajak ikut dalam penampilan anak jalanan yang biasanya kebanjiran order tampil di bulan ramadhan. Ada yag jera, tapi ada juga yang bebel ga mau nurut. Sedangkan untuk mengajarkan pelajaran-pelajaran sekolah, biasanya di Rubel Ciroyom ini diadakan pertemuan tiap 2 hari sekali dengan mereka.  Dalam pertemuan itu, biasanya kondisi para anak jalanan itu juga di-check. Adakah yang sakit, belum makan, dan segala macam pertanyaan sejenisnya. Selain itu, Rubel ini juga mencarikan pesantren-pesantren yang kira-kira bisa dijadikan sebagai tempat bernaung sekaligus belajar buat anak-anak jalanan itu. Kenapa??? Tujuannya agar mereka tidak terlalu lama hidup menggelandang di jalan, sebab rubel juga memiliki kemampuan yang terbatas dalam melindungi mereka. Namun, dasar mereka sudah betah di jalan! Sempat ada beberapa anak yang dimasukkan dalam pesantren, tapi kabur karena katanya tidak tahan hidup dalam pengaturan.

Waktu telah menunjukkan angka 23.00 WIB saat forum life sharing itu ditutup. Langsung tidur kah?? Ga lah!!! Agenda selanjutnya adalah observasi ke tempat-tempat dimana anak-anak jalanan itu biasanya tidur, bermain, kerja, dan lain-lain. Kawan, tahukah kau bahwa apa yang dikatakan oleh anak jalanan itu tempat tidur adalah tanah yang ada di bawah meja-meja dagang di pasar??? Atau tegel dingin di teras toko-toko di pasar??? Atau di emper stasiun??Mereka tidur di sana kawan! Ga pakai selimut, hanya berbalut pakaian tipis yang melekat di tubuhnya. Modal mereka hanyalah lem yang mereka bawa kemana-mana untuk mengusir rasa dingin itu. Hanya itu! Taman bermain??? Kenal saja mereka mungkin tidak. Tempat main mereka adalah pasar. Hiburan mereka adalah pasar dan lagi-lagi lem. Jadi, jangan pikir mereka pernah bermimpi bermain sepuasnya di Dufan. Malam itu pun akhirnya kami akhiri dengan beristirahat untuk kemudian mempersiapkan diri bangun sahur.

Begitulah kawan cerita yang dapat saya bagi dengan kalian semalam itu. Andai kalian bisa ikut juga malam itu, saya yakin akan lebih banyak lagi pelajaran yang akan kita petik bersama. Oh ya, ada satu lagi yang lupa saya sampaikan! Walaupun mereka susah untuk mendapatkan makan, tapi kawan ketika salah satu dari mereka punya rejeki makanan, maka makanan itu pasti akan dibagikan ke teman-temannya yang lain. Subhanallah.. adakah kita mampu berlaku seperti mereka??? Hee,.. kontribusi kalian ditunggu buat anak-anak jalanan di sana yah!!

Buatlah Indonesia Tersenyum dengan Generasi-Generasi mudanya yang Cemerlang.
Baca selengkapnya »

Wajah Sebuah Peradaban

| Sunday, December 27, 2009
Oleh : Angga Kusnan (Mikrobiologi 2007)


Selama ini mungkin kita tak memahami atau memang tidak mau memahami sama sekali. Disadari atau tidak seringkali kali mata kita tertutup –sengaja menutup- untuk memahami pesoalan yang ada diluar kita. Banyak persoalan sosial tetapi  hanya segelintir orang yang tahu dan mau tahu untuk memahami persoalan itu secara mendalam. Sebut saja persoalan yang akan saya kaji dalam tulisan ini.

Ciroyom, apa yang anda tahu ketika mendengar kata ini. Apakah sebuah pasar biasa layaknya pasar tradisional, ataukah sebuah stasiun transit di pinggiran Kota Bandung, atau juga sebuah terminal angkutan Umum biasa yang tergabung dengan pasar. Secara morfologi wilayah Ciroyom memang perwujudan dari ketiganya. Terminal, pasar, dan juga stasiun kereta api. Berperan sebagai pasar Ciroyom melakukan fungsinya sebagai salah satu penggerak peradaban dengan ciri kumuh sekaligus sibuk. Selama sehari semalam pasar ini tidak pernah mati. Selama 24 jam penuh terjadi perputaran uang sekaligus perputaran penyakit yang sangat luar biasa. Sebagai stasiun transit, tempat ini pun menjadi sangat ramai. Merupakan tempat bertemunya orang-orang dari daerah disekitar Bandung seperti Sumedang, Garut, bahkan mungkin Sukabumi. Sangat mungkin terjadi akulturasi kebiasaan dan watak dari masing-masing daerah. Sebagai terminal angkutan Kota, menjadikan Ciroyom sebagai magnet berkumpulnya warga Pinggiran Kota Bandung, selain itu menjadikan salah satu simpul Polusi yang ada di Kota Bandung. Ketiga peran tersebut sangat menggambarkan betapa Ciroyom merupakan daerah yang selalu hidup, sibuk, heterogen, dan kumuh.

Perpaduan ketiga peran ini menjadikan masalah-masalah sosial terkonsentrasi disini. Premanisme yang menganut paham “yang kuat dialah yang berkuasa” menjadi ideologi yang mendarah daging di wilayah ini. Lingkungan yang kumuh dan pusat polusi (udara, tanah, dan air) membentuk pola hidup yang tidak sehat seperti makan sembarangan ataupun budaya nge-Lem pada anak jalanan. Akulturasi watak dan kebisaan menyebabkan sulitnya membentuk sebuah sistem yang sehat, yang juga disebabkan oleh akulturasi masalah-masalah yang dibawa oleh para lakon (anak jalanan, preman, pedagang dll) di Ciroyom ini. Kesibukannya menyebabkan masyarakat lebih terfokus pada apa yang mereka inginkan yang bersifat materiil dan duniawi. Hal ini juga yang menumbulkan adanya sikap acuh tak acuh terhadap permasalahan sekitar atau bisa dikatakan terhadap masalahnya sendiri. Tidak adanya pendidikan positif yang bersifat kultural menyebabkan rusaknya struktur emosi dan spritual pada tempat ini.

Masalah ini memang diawali dari heterogennya orang-orang yang bergumul di tempat ini. Kemudian dilanjutkan oleh sistem positif yang tidak terbentuk, yang terbentuk justru hirarki premanisme yang berlandaskan hukum rimba. Hirarki ini kemudian menjelma menjadi sebuah tameng bagi terbentuknya Kekumuhan, pola hidup yang tak sehat, pendidikan yang negatif, dsb. Hirarki ini bersinergi dengan kesibukan yang tak pernah mati, kesibukan yang berlandaskan kepada materiil dan duniawi, yang dari sini membentuk pola acuh tak acuh terhadap masalah yang ada atau mungkin membuat mereka tak paham jika ada masalah. Hal ini terus terjadi bagaikan lingkaran setan yang tidak pernah habis. Ambillah satu kasus yang kemudian kita kenal sebagai anak jalanan di Ciroyom. Anak jalanan di Ciroyom cukup unik tapi tetap memiliki ciri umum sebagai anak jalanan. Unik karena mereka bukanlah warga asli Ciroyom melainkan anak yang terkosentrasi di Ciroyom dari berbagai daerah dan dengan latar belakan masalah yang berbeda di setiap individu. Memiliki ciri kumuh , kotor, kumal, tak berpendidikan, tidak sehat dsb. Umumnya mereka datang dengan membawa segudang masalah dan berusaha mencari tempat dimana mereka dapat mengaktualisasikan diri secara penuh sebagai anak. Pencarian aktualisasi diri ini memang alami dan menjadi naluri bagi setiap anak. Dari sini “perhatian” dari orang tua atau siapapun yang mengasuh sangat diperlukan bagi perkembangan anak. Masalah yang melatarbelakangi seperti masalah keluarga, yaitu orang tua yang bercerai, orang tua menikah lagi namun tidak mendapat perhatian secara penuh, dan juga status anak haram yang melekat pada anak tersebut sehingga Ciroyom menjadi tempat pembuangan –maaf- anak

Anak-anak tersebut hadir dan berkumpul dalam komunitas yang tidak mencerminkan keteladanan positif. Mereka disatukan oleh masalah –dengan variasi yang berbeda- yang kemudian membentuk karakter mereka. Awalnya mereka menjadi objek dari sistem yang mereka infiltrasi perlahan, menjadi korban dari ganasnya premanisme seperti kekerasan seksual, nge-Lem (yang ternyata dikoordinir oleh mantan preman demi keuntungan semata) dan lain sebagainya. Kemudian mereka akan belajar memahami lingkungan yang mereka tempati dan menganggap bahwa ini adalah jalan hidup yang harus mereka tempuh dan lewati. Dari proses pemahaman inilah mereka nantinya akan meneruskan budaya premanisme bahkan menjadi pelaku utama sistem ini di masa yang akan datang. Inilah yang disebut lingkaran setan Ciroyom.

Lumpur yang bau masih dapat menumbuhkan bunga teratai yang indah, begitu juga Ciroyom yang secara sosial nyaris bobrok. Harapan akan struktur masyarakat yang lebih baik pasti selalu ada, ibarat mengaharapkan mekarnya bunga teratai di kolam lumpur. Masyarakat sekitar yang notabenenya masyarakat asli Ciroyom telah paham akan hal ini dan mereka melakukan langkah untuk memproteksi terlebih dahulu generasi dan lingkungan mereka. Pembentukan Karang Taruna, pendirian Taman Pengajian Al-quran seperti madrasah dan sekolah, dan juga Perhatian lebih keluarga terhadap anak-anak mereka. Kemudian adanya inisiatif dari LSM yang masih melek untuk membentuk rumah belajar bagi anak jalanan langsung, meskipun awalnya sulit namun sekarang sistem tersebut telah terbentuk dan rumah belajar menjadi bagian dari ekosistem pasar yang diterima oleh setiap komponen pasar seperti preman dan anak jalanan itu sendiri. Kini rumah belajar tersebut menjadi Biofilter yang menyaring kotoran-kotoran peradaban.

Untuk mengatasi wabah penyakit menular maka kita harus memutus siklus dari vektornya (pembawa penyakit). Untuk memutus siklusnya maka kita juga harus tahu pola kehidupan seperti apa yang ada pada si vektor. Begitu juga dalam memutus lingkaran setan Ciroyom. Kita harus paham budaya mereka seperti apa, kita harus mengerti latar belakang apa yang menggerakan mereka (anak jalan, preman, dll). Kemudian kita bisa masuk di salah satu komponennya untuk keudian bergerak secara massif keseluruh komponen. Solusi yang telah dilakukan selama ini masih bersifat reaktif dan belum terarah, meski sekarang sudah lebih baik karena memiliki acuan dan tujuan yang disertai tahapan. Namun masih kurang karena masih menyentuh satu komponen. Sebenarnya ini tak jadi masalah selama solusi sistem yang diberikan berjalan maksimal dan tak kenal menyerah. Tetapi yang terjadi adalah evolusi bukan revolusi sosial. Solusi diatas perlu disentuh oleh sentuhan birokrasi yang bersih dan antikorup untuk melibas premanisme sampai ke akarnya, bukan dengan razia tangan besi dimana justru anak-anak jalanan yang lebih sering menjadi korban. Dengan adanya dukungan birokrasi (dalam hal ini Pemkot Bandung) program yang dilaksanakan menjadi lebih serius dan terstruktur. Ini juga akan menjadi landasan kuat bagi terbentuknya sistem positif yang kokoh dan kuat. Kemudian masyarakat sekitar yang sudah membangun sistem proteksi kini mulai mengarahkan sasarannya kepada anak-anak jalanan langsung. Program yang diusulkan adalah (Gering) Gerakan Sadar Ririungan, dimana gerakan kesadaran masyarakat utnuk mengubah lingkungan sekitar, ririungan disini berarti seluruh komponen baik itu stakeholder, tokoh agama, tokoh masyarakat, memiliki komitmenn untuk menyelesaikan masalah ini. Substansi yang dibawa pada program Gering ini adalah “Kasih Sayang dan Pendidikan untuk Peradaban”. Dengan visi dan misi dari program yang terarah Insya Allah Ciroyom akan berubah. Masih ingat dengan Kalijodo, Saritem, dan Kramat Tunggak yang menjadi Islamic center saat ini. Mereka adalah contoh dari revolusi sosial yang terintegrasi dan sistematis.

“Ciroyom hanyalah salah satu dari dari ribuan ekosistem yang bobrok, masih banyak tempat lainnya yang menjadi tugas besar dalam pewujudan peradaban yang madani”
Baca selengkapnya »

1001 Kisah: Ciroyom dan Pernak-Perniknya

| Saturday, December 26, 2009
leh : Risha Amalia (Biologi 2008)



Waktu kecil (usia 4-12 tahun), apa makanan yang paling sering kamu makan? Cokelat, es krim, permen? Di mana biasanya kamu main? Taman, mall, sawah? Hmm.. Coba tanyakan kedua pertanyaan itu pada sekelompok anak-anak yang terbiasa dengan kehidupan jalanan, mungkin kita akan menemukan jawaban yang “istimewa”.

Sabtu, 5 September 2009, perkenalan pertama saya dengan sisi lain dunia kanak-kanak. “Ramadhan Bersama Mereka” menjadi acara yang membuka silaturrahim antara kita dengan adik-adik kita di Pasar Ciroyom.

Setelah menghadapi kemacetan yang cukup parah, akhirnya rombongan akhwat Al-Hayaat dan Dodi tiba di pasar Ciroyom. Turun dari angkot, kami berjalan kaki menuju Rumah Belajar anak-anak jalanan. Di sana kami disambut anak-anak, Ayah dan para Bunda (Pak Gamesh dkk). Subhanallah, di tengah hingar-bingar pasar (emangnya diskotik >_<) ternyata ada sebuah tempat yang menawarkan tempat singgah dan tempat belajar bagi anak-anak.

Tak lama kemudian adzan maghrib berkumandang. Kami berbuka puasa bersama dengan ta’jil yang sudah disiapkan oleh Mak. Kemudian dengan diantar seorang anak (Dini memanggilnya Nur), kami mencari masjid. Sambil menunggu yang lain selesai sholat, saya mengajak Nur berkenalan. “Kenalan, Ica”, saya mengulurkan tangan. Bukannya menyambut tangan saya, Nur malah cengengesan dengan tangan yang tetap memegang buntelan kaos. O-ow, apakah Nur ikhwan?? Ternyata eh ternyata, di balik buntelan kaos itu ada sesuatu yang disembunyikan.
Anak-anak itu tampaknya belum bisa lepas dari lem. Kata Kang Ramdhan, anak-anak bisa “ngelem” sampai 20 kaleng sehari. Ckckck.. apa kabar sistem respiratori mereka? Jika dikonversi ke dalam rupiah, 20 x Rp1500 = Rp30.000. Cukup untuk membeli makanan bergizi tiga kali sehari plus sabun mandi.

Saya sempat bertanya pada Nur, “kelas berapa?”. Dia menjawab, “kelas dua SMA”. Wah, luar biasa ternyata ada yang masih bisa sekolah. Di kesempatan lain saya mengajukan pertanyaan yang sama pada Nur, “kelas berapa?” dan Nur pun menjawab, “seharusnya kelas dua SMA.”

Selesai sholat, kami makan bersama di Rumah Belajar. Seorang gadis cilik, Evita namanya, membagi cilok isi telur pada seorang anak laki-laki (lupa namanya!!). Tak disangka,  anak laki-laki itu kemudian membagikan kembali potongan-potongan cilok ke yang lain! (Terima kasih adik-adik, kalian telah mengajari saya konsep “Terima-Kasih”).

Setahu saya, kami akan sholat isya dan taraweh berjamaah. Tapi entah kenapa sesampainya di madrasah kami malah langsung sharing dan heboh bermain bersama anak-anak. Sampai akhirnya Teh Ipit men-cut dan menyarankan untuk mengajak anak-anak sholat. Mengajak anak-anak wudhu membutuhkan kelincahan rupanya. Jangan sampai kita kalah lincah, kalah gesit dalam menangkap anak-anak yang malas wudhu. Saya jadi bertanya dalam hati, siapa yang selama ini memerhatikan wudhu dan sholat mereka?

Setelah sholat, kami membentuk lingkar wacana bersama anak-anak dan para Ayah-Bunda. Pak Gamesh berbagi cerita tentang asal-muasal anak-anak, keseharian mereka, dan banyak hal lagi.

Usai berbagi cerita, kami melaksanakan investigasi langsung ke pasar. Ternyata ada suatu tempat yang… amazing bagi saya, tempat yang lapang di mana saya bisa memandang bintang. Seolah kami dan langit sejarak lantai dengan atap rumah (lebay).   Di tempat itu ketahuanlah siapa yang narsis dan siapa yang tidak (dan semuanya narsis rupanya). Tak lama kemudian, potret-potret kami sudah ter-save di memori kameranya Dini.

Oh ya, Nur memetikkan saya sekuntum bunga lili putih!! Hmm.. wangi. Andai dia menyadari, bahwa wangi lili ini lebih sedap daripada lem aibon paling wangi sekalipun…

Malam semakin tua, sudah saatnya kami istirahat. Kami pun kembali ke madrasah. Akhwat bobo di dalam, ikhwan tidur di luar (begitu, kan? ^_^).

Dini hari kami bangun. Setelah sholat sunnah dan makan sahur, ceritanya mau ada muhasabah. Dipilihlah rel kereta api sebagai tempat muhasabah supaya feel-nya dapat (supaya merasa kita dan kematian begitu dekat mungkin). Muhasabah sesi pertama berlangsung syahdu dan baik-baik saja. Di saat muhasabah kedua, terjadilah sebuah moment yang menarik, bunyi peluit panjang kereta api membubarkan lingkaran muhasabah kami.  Akhirnya kami mengungsi ke pinggiran. Sayangnya bunyi peluit tadi sudah berhasil merusak flow. Sepuitis-puitisnya Ka Gib ternyata belum mampu mengembalikan kekhusyukan sesi pertama. ^o^v

Saya ternyata baru bisa menjadi narrator, belum mampu menjadi esensor apalagi solutor (lho?!)


Yang terpikir sih baru hal-hal berikut ini :


1. Mereka harus sekolah formal

Saya tidak terlalu tahu kegiatan belajar mereka di Rubel seperti apa dan intensitasnya bagaimana.
Ini masukan dari ibu, sebaiknya anak-anak itu disekolahkan ke sekolah formal supaya mereka mendapatkan pendidikan secara lebih “profesional” dan mengurangi intensitas mereka bekerja di jalanan. Untuk anak-anak yang usianya sudah lewat, bisa dimasukkan ke program-program seperti paket A, B, atau paket C. bisa juga mereka dimasukkan dalam kursus-kursus keterampilan, seperti computer, bahasa, menjahit, memasak, de el el. Diharapkan nantinya mereka bisa bersosialisasi dengan anak-anak non-jalanan dan mendapat ijazah resmi.

Kendalanya adalah biaya, kesadaran mereka, dan ada tidaknya pihak yang mau mengurusi.

Berhubung biaya hidup dan biaya sekolah sudah meroket, anak-anak tersebut tentu saja membutuhkan bantuan dari pihak lain. Dari Dinas sosial misalnya (bisa nggak sih?), atau semacam GNOTA (Gerakan Nasional Orang Tua Asuh), atau dari kakak asuh (satu orang kakak membiayai satu orang adik). Lebih baik lagi kalau ada yang mau mengadopsi anak-anak itu. Intinya mah, angkat mereka dari jalanan we lah.


2. Mereka harus dibiasakan menghargai uang.

Mungkin, sekali lagi mungkin, yang menyebabkan mereka kurang bersemangat mengubah diri adalah karena mereka berada di “zona nyaman”. Seperti kata Kamal, makan mereka disediakan, fasilitas lain juga diberikan membuat mereka jadi malas berusaha (nggak begitu juga sih). Yang saya pikirkan, makanan dan fasilitas lain tetap kita yang memberi, tapi mereka nggak mendapatkannya dengan Cuma-Cuma. Missal, mereka “membayar” makanan tersebut (tentu saja di-sangatmurah-kan). Nantinya uang itu ditabung untuk keperluan mereka juga. Nah masalahnya apakah mereka mengerti dan mau?


3. Mengadakan kontes kecantikan dan ketampanan supaya mereka mau mandi, pakai sandal, dan wangi.
 
4. Sering-sering lah kita menengok mereka, membantu Ayah dan Bunda mewarnai dunia kecil anak-anak Ciroyom.


—————————————————————————————————————————–
Pasar Ciroyom, kawasan yang tidak terlalu jauh dari ITB (hanya satu kali naik angkot jurusan Cicaheum-Ciroyom), menjadi saksi perkembangan jiwa-jiwa kecil generasi muda Indonesia. Anak-anak yang dalam kesehariannya berlarian dalam debu jalanan, teriakan pasar, gunungan sampah,.. mereka juga berhak menjadi batu-bata yang akan membangun peradaban dunia.
Baca selengkapnya »

Mereka Juga Penerus Bangsa

| Friday, December 25, 2009
Oleh : Nisfatin Mahardini (Biologi 2008)


Mereka punya potensi, karena itu mereka perlu tahu bahwa mereka juga bagian penting di masyarakat, mereka juga punya peran untuk perubahan masyarakat ke arah yang lebih baik. 

Jika Anda berkunjung ke Pasar Induk Ciroyom, Anda akan menemukan banyak anak usia sekolah yang berlarian di sela-sela kios milik pedagang sayuran dan buah sambil membawa kaleng lem aibon-yang isinya hampir mongering-di balik kaos-kaos kotor. Diantara mereka ada yang berprofesi sebagai kuli angkut barang dan pengamen jalanan. Namun sayangnya, hasil jerih payah bekerja seharian itu mereka habiskan bukan untuk makan atau kebutuhan pokok sehari-hari mereka, tapi untuk hal yang menurut logika sehat tidak bermanfaat sama sekali, untuk membeli lem. Membahas fenomena anak jalanan seperti berputar dalam lingkaran setan karena objek, subjek, penyebab, dan solusi permasalahan ini berkutat pada system kebijakan daerah dan pola pikir yang telah terbudaya pada individu di dalamnya mengenai pentingnya integritas pendidikan dalam kehidupan sehari-hari. permasalahan ini hanya akan menjadi wacana semata jika tidak ada tindakan nyata dan solutif, serta  kerjasama berbagai pihak terkait yang mestinya peduli dengan kondisi anak jalanan, tidak hanya yang ada di Pasar Induk Ciroyom ini saja.


Dari mana mereka berasal?
Anak-anak jalanan yang ada di Pasar Induk Ciroyom ini sebagian berasal dari daerah sekitar Ciroyom meskipun ada juga yan berasal dari daerah di luar Ciroyom bahkan di luar Bandung.

Alasan mereka datang ke Pasar ini kebanyakan karena masalah keluarga. Mulai dari karena tidak betah dengan kondisi rumah yang terlalu banyak aturan, karena orang tuanya menikah lagi dan mereka merasa tidak cocok, kedua orangtuanya telah meninggal lalu tidak ada yang mengurusi, hingga ditinggal orang tua yang menjadi TKI ke luar negeri. Namun inti dari semua alasan itu adalah karena mereka tidak puas dengan kondisi keluarga mereka yang tidak harmonis lalu setelah mereka menemukan tempat ini (Pasar Induk Ciroyom) sebagai tempat tinggal baru mereka, mereka merasa lebih bebas karena tidak ada yang mengatur kehidupan mereka.


Apa yang membuat mereka dikucilkan dari lingkungan masyarakat?
Di satu sisi, kedatangan mereka ke Pasar Induk Ciroyo ini menjadi solusi sesaat (bagi anak jalanan). Tapi di sisi lain, hal tersebut menimbulkan masalah baru bagi lingkungan masyarakat sekitar Pasar Induk Ciroyom. Kehadiran mereka dirasa meresahkan karena adanya mereka tidak hanya membuat lingkungan menjadi tidak teratur (mislanya tidur di sembarang tempat di malam hari seperti bagian kolong meja penjual sayur), tapi juga meningkatnya kriminalitas dan jumlah PSK yang semakin banyak. Belum lagi premanisme yang berlangsung membuat aturan yang dibuat Pemerintah Kota hanya sebagai aturan tertulis saja tanpa aplikasi nyata di lapangan. Preman-preman itu pada umumnya adalah anak-anak jalanan yang sudah dewasa dan sudah belasan tahun tinggal dan membudaya di Pasar Induk Ciroyom ini. Mereka menurunkan budaya yang mereka pelihara sejak lama pada adik-adik anak jalanan yang baru datang, begitu seterusnya.


Rumah Belajar Sahaja, sebuah contoh kepedulian berbagai kalangan untuk berkontribusi positif bagi permasalahan anak jalanan.
Kehadiran Rumah Belajar Sahaja di bawah asuhan Pak Gamesh yang merupakan seorang Dosen dari salah satu Institut Teknologi Swasta di Kota Bandung dirasa membawa sedikit angin segar bagi kesejahteraan setidaknya beberapa anak jalanan. Rumah Belajar yang didirikan Tahun 1998 ini bertempat di belakang Pasar Induk Ciroyom. Sekolah kecil ini memberikan pendidikan nonformal bagi anak-anak jalanan yang ada di daerah itu. Pendidikan yang diberikan meliputi pembelajaran baca tulis, menggambar, pendidikan moral, musik dan agama. Adapun tenaga pembimbing yang diberdayakan berasal dari relawan yang memiliki kepedulian lebih pada kesejahteraan anak-anak jalanan. Karena sifatnya yang lepas waktu, dan belum ada shift yang fix mengenai jadwal pembimbingan, seringkali relawan yang membimbing hanya orang-orang itu saja. Alasannya cukup logis, karena relawan-relawan tersebut memiliki latar belakang pekerjaan di berbagai bidang kesibukan. Sehingga pengawasan perilaku pada anak jalanan sebagian besar di tangungkan pada kesadaran diri dan solidaritas mereka sebaga teman untuk saling mengingatkan dan menegur.

Namun apakah kontribusi ini cukup solutif, saat di satu sisi mereka mendapatkan kebebasan yang membuat mereka berperilaku menyimpang, namun di sisi lain kita menunjang kehidupan mereka?


Tidak semua dari mereka kabur dari rumah.
Pemandangan yang pertama kali kita lihat ketika sampa di lingkungan rumah belajar sahaja pasar induk ciroyom adalah mereka-anak-anak jalanan ini- sangat tidak beraturan, tidak ada yang mengekang, dan merasa tidak perlu mempertanggungjawabkan apapun yang mereka lakukan-pada siapapun. Intinya mereka terlihat seperti tidak memiliki orangtua atau kabur dari rumah.  Beberapa memang demikian, namun ada juga diantara anak-anak yang belajar di Rumah Belajar Sahaja Pasar Induk Ciroyom ini yang masih tinggal bersama orang tuanya. Kebanyakan orangtua bekerja sebagai pedagang di pasar induk ciroyom, sebagian lain merupakan penduduk sekitar dengan matapencaharian beragam yang anaknya ikut belajar di rumah belajar ini. Anak yang masih tinggal bersama orang tuanya terlihat lebih bersih, taat auran, tidak melakukan hal-hal yang menyimpang (seperti nge-lem) , masih bersekolah, dan berperilaku lebih sopan dibandingkan dengan anak-anak jalanan asli. Sedangkan anak-anak jalanan asli terlihat lebih tidak terawat, sulit  lepas dari kaleng lem aibon, berperilaku tidak sopan dibanding dengan anak-anak yang maish tinggal dengan orang tuanya, meskipun kultur pasar masih lekat pada keduanya.


Apa potensi mereka?
Usia anak-anak jalanan yang berada pada rentang 5-20 tahun merupakan usia produktif untuk belajar dan mengembangkan karakter potensi diri untuk dapat menentukan akan jadi apa kelak setelah mereka dewasa. Latar pasar yang menjadi tempat hidup mereka (keras, tantangan besar, dan perjuangan untuk bisa bertahan) bisa memiliki peran ganda dalam pembentukan karakter, mereka memiliki ketahan malangan tinggi (lalu menjadi solusi dari masalah) atau menjadi preman (malah menjadi bagian bermasalah dari masalah). Semuaya tergantung bagaimana lingkungan mempengaruhi dan bagaimana mereka membentuk pola pikir dan menyikapinya. Disini  Pemkot berperan.

Melihat potensi yang bisa mereka lakukan, keberadaan anak-anak ini menjadi penting untuk menjadi bagian dari solusi, mereka adalah bagian dari generasi muda bangsa yang juga turut berperan sebagai agen perubahan, tidak terbatas pada mahasiswa saja.  Karena proses pembelajaran yang anak-anak dapatkan tidak terbatas hanya pada bangku sekolah. Pendidikan formal tetap penting, namun perubahan ini harus melalui proses yang bertahap. Baru setelah permasalahan anak jalanan ini teratasi (termasuk nge-lem), pendidikan dan perubahan kebiasaan dapat digalakkan. Karena untuk perubahan kebiasaan dan keinginan membutuhkan kesadaran dari diri mereka sendiri.


Upaya yang bisa kita lakukan bersama
Dengan memperhatikan hal tersebut, diperlukan pendekatan yang berbeda bagi mereka (anak jalanan asli dan anak jalanan yang masih tinggak bersama orang tuanya) untuk bisa mengembangkan diri dalam hal kemandirian-yang positif-yang dibina oleh berbagai pihak, tidak terbatas pada relawan rumah belajar sahaja saja, tapi juga masyarakat sekitar, karang taruna setempat dan pembuat kebijakan (baca: pemkot) setempat. Metode itu bisa berupa pendekatan yang berbeda pada keduanya, namun dengan materi yang sama misalnya pemberian materi tentang kreativitas wiraswasta.

Tidak perlu yang skala besar dulu, kita bisa ambil contoh yang sederhana, misalnya penanggulangan sampah organik di sekitar Pasar Induk Ciroyom. Sampah-sampah yang kebanyakan sayuran dan daging busuk ini sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk diubah dengan teknologi komposting sederhana yang kemudian menghasilkan pemasukan bagi mereka dan solusi bagi permasalahan sampah di lingkungan Pasar ini. Mengenai sumber daya manusianya, kita bisa bekerja sama dengan karang taruna setempat dan anak-anak jalanan yang ada di Pasar Induk ini . Sekali lagi, proyek ini membutuhkan kerja sama dari berbagai pihak (pemerintah kota, LSM, Mahasiswa, masyarakat, orang tua dan anak-anak jalanan) dan aturan yang jelas serta ditaati semua pihak  agar tujuan inti, yakni pengentasan permasalahan dan pemberdayaan anak jalanan agar dapat mandiri serta penanggulangan masalah sampah di pasar induk dapat tercapai.
Baca selengkapnya »

Ironisme dan Kehidupan

| Thursday, December 24, 2009
Oleh : Gibran Huzaifah (Biologi 2007)


Obrolan Kita Dimeja Makan. Tentang Mereka Yang Kelaparan (Ethiopia, Iwan Fals)

Ada sebuah frasa yang menarik di dalam lagu Etiopia gubahan Iwan Fals di atas. Frasa tersebut mempresentasikan betapa ironisnya citra empati yang sering ditampilkan oleh kita di dalam keseharian. Empati mengapung, begitu penulis menyebutnya. Suatu tampilan jiwa empati yang hanya sekadar mengapung di permukaan. Ketika percakapan tentang kelamnya dasar laut menjadi hal yang lumrah sementara setiap detik yang dirasakan hanya sebatas zona tenteram yang kaya akan cahaya. Maka tabiat empati itu menjadi bias, tatkala obrolan tentang orang yang kelaparan dilangsungkan di tengah prosesi makan malam, karena pada dasarnya, kita tidak bisa benar-benar tahu bagaimana rasanya lapar sedangkan tadi baru saja makan kenyang.

Maka gagasan tentang empati yang menyeluruh inilah yang menjadi landasan dilangsungkannya acara ini. Tentang empati yang mendalam. Tentang kepedulian yang tumbuh dari sebuah observasi nyata di lapangan. Bahwa ada sisi kehidupan yang tidak terjamah oleh kita sebelumnya. Bahwa ada area yang tak terbayangkan oleh mahasiswa yang konon sibuk dengan kegiatan akademiknya. Bahwa dibalik cakrawala konvensional, terdapat panorama hidup yang mengenaskan. Dan disitulah, di tengah tumpukan sampah, di sekitar aroma busuk, di atas jejalan becek, terdapat sekumpulan anak jalanan yang menjalani kehidupan di titik yang jauh dari kenyamanan.

Ciroyom adalah potret kehidupan masyarakat kelas bawah dengan wajah yang sebenarnya. Kerasnya hidup memaksa orang-orang di sana untuk mengikis jiwa sosialnya sendiri. Maka, kita diperlihatkan tentang komunitas pasar yang dipenuhi jiwa-jiwa individual. Ketika kecurangan perniagaan, transaksi barang haram, intrik pemanfaatan jabatan, menjadi konstruk pembentuk keseharian disana. Satu era l’exploitation l’homme de l’homme, eksploitasi manusia oleh manusia, yang baru terjadi di sana. Para pedagang yang diekploitasi oleh petugas keamanan dan pejabat untuk ditarik iuran yang ilegal. Anak-anak jalanan yang dieksploitasi pedagang yang menjual barang-barang kotor. Pengunjung yang dieksploitasi rasa pedulinya oleh anak-anak jalanan yang memasang tampang memelas. Dan lain sebagainya. Mereka semua adalah korban dari kerasnya kehidupan dan miskinnya kepedulian sosial.

Diantara itu semua ada anak-anak jalanan yang menciptakan keceriaannya sendiri. Lagi-lagi, karena kehidupan yang keras itu mereka mencari pelarian dalam bentuk yang alakadarnya. Pelarian yang, setidaknya, bisa membuat mereka lupa tentang kehidupan yang begitu naas. Lalu, pelarian itupun diejawantahkan dalam menghirup aroma lem yang sesaat bisa membuat mereka gembira, tanpa perlu alasan yang pasti. Pelarian itu mereka wujudkan dalam senandung yang mereka nyanyikan di perempatan jalan, yang membuat mereka tertawa dengan lirik yang diciptakan sendiri. Maka, mereka pun ceria, dengan perspektif hidup yang mereka gariskan sendiri.

Dalam persepsi normal, sebenarnya menjadi hal yang sulit membayangkan keceriaan di tengah kehidupan mereka. Anak-anak itu adalah kumpulan bocah yang tidak terlalu “bernasib” untung. Karena di usia yang sekecil itu, mereka telah menjalani hidup sedemikian berat. Anak-anak dari berbagai daerah dengan bermacam-macam latar belakang berkumpul disana. Ada yang dari daerah dekat seperti Cimahi, Garut, atau dari yang jauh hingga Riau dan Kalimantan. Alasan mereka disana pun bervariasi. Kebanyakan karena korban orang tua tidak bertanggung jawab yang mencari kepuasan hidupnya sendiri dengan mencari istri lagi sehingga mereka terlantar. Ada juga yang disana karena orang tuanya meninggal, entah dibunuh atau karena sakit. Atau memang anak-anak yang terpaksa mencari uangnya sendiri karena keluarganya tidak mampu menafkahi. Dibalik itu semua, hal yang menarik adalah, dengan lukisan kehidupan yang seperti itu, mereka bisa bertahan, bahkan, mereka larut terlena di dalamnya.

Ini merupakan sisi positif sekaligus negatif yang ada dalam satu kondisi. Positif karena, dengan mereka terlena di kehidupan yang seperti itu, mereka memiliki kegembiraan a la mereka sendiri. Biar saja hidup sekeras apa, mereka masih menertawakan kehidupan itu dengan tawa yang lebih keras. Ini positif. Apa lagi yang lebih positif dari sikap yang gagah dalam menghadapi hidup yang payah? Tapi, disamping itu, ada juga sisi negatif yang dapat memicu permasalahan ke depan. Keterlenaan mereka di kehidupan jalanan dapat mengakibatkan keterpurukan permanen. Karena, biarpun bertitel anak jalanan, mereka tetaplah generasi muda yang berperan sebagai penerus estafet kepemimpinan bangsa. Jika standar nyaman mereka ada di titik itu, lalu bagaimana mereka bisa berkembang? Yang ada adalah kehidupan dalam jurang yang sama, selamanya. Dan hal itu terindikasikan dari beberapa anak yang memiliki rumah dan kerabat di Bandung, tapi tidak jarang pulang bahkan untuk sekadar berkunjung, “soalnya lebih nyaman di jalanan”, katanya.


Setitik Embun Padang Pasir
Potensi positif di atas harus bisa dimanfaatkan, agar mereka tidak tercebur di jurang negatif. Oleh karena itu, mereka membutuhkan pembimbing yang bisa mengerahkan ke mana seharusnya mereka melangkah. Karena, gaya hidup yang tidak baik, seperti menghidup lem, merokok, meminum minuman keras, yang mereka lakukan hanya karena tuntutan lingkungan. Lingkungan yang gelap seperti itulah yang membawa mereka ke arah kekelaman. Harus ada orang yang bisa menunjukkan mereka jalan kebenaran, agar mereka terjauh dari keterpurukan.

Maka, segala puji bagi Allah, yang telah menanamkan kepedulian bagi beberapa orang pengurus Rumah Belajar (selanjutnya disingkat Rubel) yang diberi nama SAHAJA (Sahabat Anak Jalanan) Ciroyom. Rubel ini didirikan oleh seorang dosen dan bekerja sama dengan mahasiswa-mahasiswa yang memiliki keinginan kuat untuk setidaknya memberikan pertolongan dengan daya seadanya kepada anak-anak jalanan di Ciroyom. Rubel itu tidak hanya mengajarkan mereka untuk membaca, menulis, berhitung, tetapi juga memberikan mereka pemahaman tentang arti kejujuran dan kedisiplinan. Lalu, jadilah anak-anak jalanan yang tadinya dididik oleh deru kehidupan, menjadi orang yang dididik dengan etika dan kasih sayang. Kehadiran rubel ini laksana setitik embun di padang pasir. Menyegarkan memang, tapi masih tidak melepas dahaga mereka.

Sekalipun berbekal kepedulian yang besar, kehadiran Rubel Sahaja ini belum memberikan dampak yang signifikan terhadap kehidupan anak jalanan. Anak-anak itu masih tetap ada di dalam tempat yang sama, dengan aktivitas yang sama. Rubel memang memberikan bantuan berupa makanan dan lain sebagainya, tapi itu justru membuat anak-anak menjadi bergantung, tidak mandiri, dan malah mengalokasikan keuangannya untuk membeli kaleng dalam jumlah yang lebih besar. Hal ini ditengarai akibat kurangnya sumber daya, baik itu dalam bentuk dana maupun SDM. Karena, dengan keterbatasan itu, program-program tidak bisa berjalan dengan optimal, dan karena itu pula tidak bisa dibuat satu proyek besar yang bisa mengakomodasi segala kebutuhan mereka dan tetap mengembangkan (improving) dan memberdayakan (empowering) potensi mereka sebagai manusia.

Hal nyata yang mereka butuhkan saat ini adalah sebuah program terpadu, yang didalamnya mencakup pendidikan dan pengembangan potensi. Mereka perlu diajarkan untuk memandang masa depan dengan lebih cerah, dan diarahkan untuk menjalaninya dengan cara yang positif. Kegiatan menghirup lem mungkin bisa dihilangkan dengan melakukan rehabilitasi kecanduan zat aditif, atau dengan mengganti benda itu sementara dengan hal yang lain.

Pemerintah sebagai lembaga yang memiliki otoritas sekaligus tanggung jawab tertinggi terhadap nasib anak jalanan ini perlu ditagih tindakannya. Karena, keterlibatan pemerintah dalam mengayomi mereka akan sangat membantu keberlangsungan program pengembangan ini. Daya-daya yang terpencar di LSM, CSR dan program-program pengabdian masyarakat mahasiswa bisa disatupadukan agar menghasilkan kekuatan yang besar untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik.
Baca selengkapnya »

Pahlawan dalam Hidup

| Wednesday, December 23, 2009
Oleh : Erlambang Aji (Mikrobiologi 2008)
Weits.. Artikel ini saya tulis setelah saya barhasil menonton film Sang Pemimpi. Kenapa saya menulis tentang pahlawan? Kenapa bukan tentang mimpi kita? Dari film tersebut saya belajar mengenai sebuah hal baru. Bagaimana peran seorang “pahlawan” dalam hidup kita agar dapat mewujudkan mimpi kita. Sekilas synopsis dari film tersebut. Haikal seorang anak dari sebuah daerah kecil yang belajar mengenai mimpi berkat seorang teman dekatnya yang bernama Arai. Arai adalah seorang anak yang tinggal disebuah hutan dan ditinggal mati oleh orang tuanya. Orant tua Haikal lalu merawat Arai seperti anaknya sendiri. Berbagai kenakalan dan hal-hal jenaka mengisi kehidupan mereka. Teman mereka di satu sekolah adalah Jimbron. Mereka selalu melewati kehidupan masa SMA nya bersama hingga suatu hari Arai dan Haikal memiliki mimpi untuk melihat dunia lebih luas. Mereka ingin menyelesaikan pendidikan tingkat sarjana di kota dan melanjutkan pendidikan pasca sarjananya di luar negeri. Pahitnya kehidupan mereka lalui bersama dengan dukungan orang-orang disekitarnya dan orang tua mereka. Hingga akhirnya mereka berhasil lulus di sebuah universitas di kota dan melanjutkan mimpinya untuk kuliah di luar negeri. Lalu? Dimana bagian pahlawannya? Oke saya ceritakan di paragraph selanjutnya.
Dari kisah ini saya belajar. Dalam hidup kita diperlukan sebuah mimpi. Mimpi besar yang bahkan jika kita bayangkan “Bisa gitu saya kaya gitu?”. Tak perlu kehidupan monoton yang tak bergerak dari hari ke hari dalam hidup kita ini. Namun dalam proses pencapaian mimpi ini, kita tak luput dari bantuan orang-orang yang berada di sekitar kita. Pernahkah kalian berfikir bagaimana nasib kalian saat tidak ada seorang pun yang mensupport sebuah harapan kita? Hmmmm…. Lalu apa hubungannya dengan pahlawan? Bagi saya, merekalah pahlawan dalam kehidupan saya. Mereka yang selalu berada dalam kehidupan saya, memberi dukungan, serta ada saat kita susah. Mereka adalah cahaya penerang dalam kehidupan ini. Waw.. Kata-katanya… Namun kita tetap tak bisa melupakan Allah dan Rasulallah. Allah-lah yang memberikan kita rahmat sehingga kita bisa bertemu mereka dan hidup bersama mereka. Rasulul-lah yang membimbing kehidupan kita di dunia ini agar berada di jalan yang lurus dan benar. Saya sangat bersyukur atas keberadaan semua orang yang berada di sekitar saya dan selalu membantu kita semua. Ahahaha… Hal ini merupakan pelajaran baru bagi saya dimana kita wajib melihat secara luas keadaan kita dan sekitar kita.
Ada 3 pelajaran lain yang saya dapat dari film ini. Yang pertama adalah keberadaan orang tua kita. Diajarkan dalam film tersebut bagaimana peran orang tua kita dalam membantu kita menyekolahkan, dan mendukung mimpi-mimpi kita. Bagi Haikal, ayahnyalah ayah terhebat di dunia. Namun bagi saya, ayah saya adalah ayah yang terhebat. Bagaimana dia bisa bekerja senin-minggu. Dengan istirahat yang tidak seberapa, kegiatan sehari-harinya selalu dipenuhi hal-hal untuk keluarganya dan sangat bermanfaat bagi dirinya. Pasti bagi kalian para pembaca akan merasa bagaimana peran ayah dan ibu kalian semua. Pelajaran kedua adalah peran Zakiah Nurmala untuk Arai. Adanya Zakiah memberi warna yang lebih cerah dalam kehidupan Arai. Arai mampu mengisi hari-harinya lebih serius dan mampu menjalani kehidupan sekolahnya dengan sukses tentu tak lupu dari peran gadis ini yang menjadi tambatan hatinya. Cieh… Ahahaha…. Dan yang terakhir adalah pesan yang disampaikan Haikal saat dikelasnya. “Jiwa muda adalah jiwa yang berapi-api”. Kenapa kita bisa diam saja dalam menjalani hidup ini? Kita masih muda dan kita wajib berapi-api dalam menjalani kehidupan ini. Ahahaha… Silahkan menyaksikan sendiri kehebatan film dari adaptasi novel Andrea Hirata ini. Two tumbs up buat beliau
Baca selengkapnya »

Menahan Godaan Duniawi

|
Oleh : Erlambang Aji (Mikrobiologi 2008)
       Kita mengemban sebuah misi, visi, dan tujuan dalam mencapai kehidupan yang baik di dunia maupun di akhirat. Namun dalam proses mencapai hal tersebut kita slalu dihadapi berbagai halangan dan godaan yang bersifat duniawi. Kita cukup sering melalaikan solat 5 waktu, melalaikan tugas, bermalas-malasan, bermain dan berwacana tanpa tindakan, dan kegiatan yang kurang berguna lainnya. Padahal dalam mencapai tujuan, visi, dan  misi kita diperlukan usaha yang maksimal dalam hidup kita yang hanya sementara ini di dunia. Namun bagaimana cara kita menahan godaan atas “surga” duniawi yang sangat mengenakan tersebut? Haruskah kita menjauhi kehidupan duniawi? Pergi ke gunung yang jauh dan hidup disana? Ga segitunya juga sih… Kita dapat bercermin kepada suatu bakteri. Hah? Kenapa bakteri? Yang kecil-kecil itu? Emang bisa apa bakteri? Malu dong masa niru yang dilakuin bakteri! Mungkin bisa dibilang begitu, tapi Allah menciptakan segala yang ada di dunia ini tanpa kekurangan apapun. Bakteri ini adalah Deinococcus radiodurans. Berikut adalah pemaparannya.
Kingdom          :           Bacteria
Phylum            :           Deinococcus-Thermus
Order              :           Deinococcales
Genus              :           Deinococcus
Species            :           D. radiodurans
       Bakteri ini merupakan bakteri yang mampu bertahan dalam sebuah lingkungan ekstrim. Radiasi dengan tingkat 2200 Gy dimana manusia tak dapat bertahan sama sekali dapat dilaluinya dengan mudah (manusia mati pada radiasi 10Gy). Suhu yang rendah, kekurangan air, serta keadaan asam dapat dilaluinya menetapkan bakteri ini dalam Guiness Book of Record sebagai bakteri terkuat yang ada di masa ini. Meskipun bakteri ini sangat kuat tapi tidak bersifat pathogen. Bahkan bakteri ini sangat berguna sangat potensial dan membantu kehidupan manusia di bidang bioremediasi. Limbah radioaktif, logam-logam berat, dan senyawa kimia organik yang berbahaya dapat ditaklukannya. Selain itu, bakteri ini digunakan dalam penelitian penyembuhan kanker mengingat kanker sering disebabkan oleh radiasi dan berbagai logam berbahaya. Bagaimana bisa bakteri ini bertahan dalam situasi tersebut? Ketika terkena suatu radiasi, DNA organism akan rusak dan menyebabkan gangguan metabolisme hingga kematian. Namun bakteri ini dapat langsung memperbaiki DNA yang rusak itu dengan bantuan enzim RecA. Enzim ini dapat memperbaiki single strand dan double strand DNA. Selain itu susunan unik dari DNA yang dimiliki bakteri ini memainkan peranan penting dalam proses resistansi terhadap radiasi. Bakteri ini selalu berada dalam kondisi pasangan atau tetrads. Perbaikan DNA dapat difasilitasi oleh nukleoid yang berfusi dari kompartemen sebelahnya. Hal inilah yang menyebabkan homolog rekombinasi dapat dicapai. Selain itu, bakteri ini menggunakan manganese sebagai pelindungnya yang melindungi dari serangan radiasi. Radiasi dapat mengoksidasi protein, namun zat ini bersifat antioksidan melindungi bakteri ini.
       Sebenarnya saya kurang memahami juga mekanisme yang lebih terperincinya. Namun dari beberapa fakta diatas kita dapat mengambil sebuah analogi. Enzim RecA merupakan ilmu keduniaan yang kita miliki, manganese adalah ilmu keagamaan kita, proses perbaikan DNA sebagai proses hidup kita, dan radiasi merupakan gangguan yang merusak kehidupan kita. Gambarannya, meski kita memiliki ilmu namun kita tidak melakukan proses dalam memanfaatkan ilmu tersebut kita tak akan dapat dapat bertahan dari serangan “radiasi” di kehidupan ini. Begitu pula dengan ilmu keagamaan kita. Setebal apapun ilmu agama kita, ketika ditembus meski hanya sebesar lubang jarum kita tidak dapat memperbaikinya tanpa disertai ilmu yang kita punya. Bahkan lubang itu dapat terus membesar jika kita diamkan. Dalam menghadapi semua “radiasi” dunia tersebut dibutuhkan keseimbangan antara ilmu keagamaan serta ilmu dunia. Namun hal ini juga diperlukan sebuah proses dalam menghadapi “radiasi” tersebut. Jika kita tidak mengaplikasikan semua ilmu yang kita peroleh tidak dimanfaatkan dengan baik, tentu tidak akan berguna. Kita pantas bercermin dari bakteri ini. Dengan semua modal yang dia punya, dia dapat memperbaiki kehidupan kita sebagai seorang manusia dalam menciptakan pengobatan yang lebih baik dan lingkungan yang lebih baik juga. Masa kalah sama bakteri? Mulailah pasang anggapan ini dalam diri kita. Tambahan terakhir adalah kerja sama. Bakteri tersebut selalu berada dalam keadaan pasangan. Dan keadaan tersebutlah yang sangat mendukung rekombinasi DNA nya. Kita pun tidak bisa sendirian dalam mewujudkan tujuan, misi, dan visi kita. Dengan berteman dengan orang yang sepaham dan memiliki tujuan yang sama dengan kita tentunya kita dapat menggapai keberhasilan dengan lebih mudah. Tapi bukan berarti kita hanya berteman dengan orang yang sepaham. Kita juga harus tetap melebarkan sayap persahabatan kita. Ahaha… Maaf atas kekurangan yang saya tulis dalam artikel ini karena keterbatasan ilmu yang saya miliki, semoga artikel ini dapat membantu kita semua
Baca selengkapnya »

Belajar Dari Berbagi

|
Oleh : Soraya Mahani (Biologi 2007)


Berawal dari program yang terus-menerus tidak berjalan karena suatu alasan yang cukup dapat dimaklumi. Kami, Al-hayaat, akhirnya menyelenggarakan kegiatan ini. Kegiatan yang didasarkan atas kepedulian sosial yang berlangsung semalam di Bulan Suci Ramadhan, karena itu kami menamai kegiatan ini sebagai Ramadhan Dengan Mereka. Kegiatan ini berlangsung di Ciroyom, yaitu di rumah singgah sahaja. Targetnya adalah anak-anak jalanan yang tinggal di sekitar Ciroyom. Dengan berbekal makanan buka dan sahur, kami bekerjasama dengan kepala sekolah dan badan pengurus rumah singgah tersebut untuk mengumpulkan anak-anak jalanan dan dapat berbagi cerita bersama selama semalam.

Rumah singgah sahaja ini seperti gubug kios yang terletak ditengah-tengah pasar Ciroyom dan dekat dengan rel kereta api. Ukurannya hanya 2,5 x 3 meter dan beralaskan tanah yang ditutup dengan terpal biasa. Rumah ini dilengkapi dengan peralatan rumah seperti lemari untuk pakaian dan peralatan lain yang mendukung kegiatan belajar.

Anak-anak jalanan ini bukan berasal dari Ciroyom, melainkan pendatang dari berbagai kota di jawa Barat, jawa Tengah, dan sumatera. Mereka tinggal di Ciroyom hanya untuk mengais rezeki dari mengamen dan membantu para pedagang seperti membersihkan tempat dagang dan mengangkat dagangan mereka. Penghasilan mereka dalam sehari bisa mencapai 15.000 sampai 50.000. Tapi sayang nya mereka gunakan uang tersebut untuk membeli lem, karena mereka memilki kebiasaan menghirup lem. Dalam sehari mereka dapat menghabiskan 6-20 lem tanpa atau dengan tetap menyantap makanan.

Mereka hanya anak-anak yang tak berdosa yang dicampakkan dan diacuhkan oleh orang tua mereka. Umur mereka berkisar antara 8 sampai 17 tahun dan mereka sudah lama tak merasakan  bangku sekolah. Dengan alasan ekonomi, kedua orang tua mereka memberhentikan pendidikan dan menyuruh mereka untuk bekerja agar kebutuhan hidup mereka dapat terpenuhi. Jika anak-anak jalanan tersebut tidak membawa uang, maka mereka dimaki dan dipukuli oleh kedua orang tua mereka. Inilah salah satu alasan  mengapa mereka pergi dari rumah. Selain itu, alasan lain mereka pergi karena orang tua mereka yang menikah lagi dan mungkin pula mereka meiliki alasan – alasan lain yang cukup membuat mereka tertekan.
Seperti Guntur yang bergemuruh ketika malam tiba, saat mereka berbagi dengan kami tentang kehidupan mereka yang serba kekurangan, haus kasih sayang dan kurangnya pendidikan. Mungkin kami hanya bisa mendengarkan, mengasihani dan terharu dengan semua jawaban pertanyaan yang kami lontarkan kepada mereka. Rasa syukur membanjiri hati kami saat itu. Bersyukur atas segala karunia yang Allah berikan dan kehidupan yang begitu indah, yang mungkin tak mereka dapatkan. Namun, mereka tetap terlihat bahagia dengan kehidupan yang mereka jalani. Dengan segala kekurangan dan keterbatasan mereka.

Begitu banyak pelajaran yang kami dapatkan malam itu, semoga bukan hanya sekedar kunjungan yang hanya berakhir dengan rasa syukur dan prihatin yang besar, melainkan dengan keberlanjutan yang akan membuat perubahan dalam kehidupan mereka, karena banyak hal yang harus dibenahi dari seluruh aspek kehidupan. Dari sisi moral dan materi. Karena itu, butuh kekuatan, kerjasama, dan komitmen yang besar untuk bisa membawa mereka ke arah yang lebih baik.

Dengan segala keterbatasan, kami akan berusaha membantu mereka semampu kami. Semoga Allah menghimpun hati kami dan memberikan kekuatan pada kami untuk bisa berbagi dengan mereka dalam segala hal.
Baca selengkapnya »

Anak Jalanan dan Berjuta Persepsi

| Tuesday, December 22, 2009
Oleh : Sidiq Pambudi (Biologi 2007)


Negatif (kurang ato apalah), itu dari dulu yang saya pikirkan kepada mereka. Baik itu dari gaya hidup, perilaku, pikiran, kebiasaan atau apalah yang ada hubungannya dengan mereka. Namun sambutan dan tegur sapa mereka yang hmmm,,, menurut saya hangat untuk orang-orang seperti mereka, cukup mengherankan. Selain itu saya tidak mendengar bahwa mereka dekat dengan hal-hal yang berbau kriminal seperti mencuri dll. Namun tidak jarang juga mereka ditindas/di ‘palak’ oleh sesamanya yang umurnya lebih tua.

Saat pertama datang saya bingung mereka ini mau diapakan oleh kalian, pikirnya sih Cuma buat buka, tidur + sahur bareng atau mungkin mengajarkan moral dan kebiasaan yang benar kepada mereka. Saya lihat jumlahnya mereka sedikit dan sebagian besar umurnya masih dikategorikan anak-anak, mana nih yang gede-gede? Mungkin yang udah gede mah udah susah diajakin, udah punya idealisme sendiri, yang jelas mereka asik sendiri dan kesannya seakan menghindar, gimana mau dibenerin.

Lalu setelah ikut ke madrasah dan mengajak mereka bermain, waduh rasanya sulit sekali mengatur mereka entah mereka merasa ini tidak menarik atau hal lain yang membuat mereka tidak fokus. Hebat! Itu yang terucap saat melihat fasilitas hidup mereka. Kolong warung, tanpa alas, udara dingin belum lagi kalau hujan itulah kondisi tempat mereka tidur. Beruntung ketika ada relawan yang membuatkan tempat untuk tidur disamping warung, walaupun mesti berdesak-desakan mungkin yang mereka pikir yang penting ada tempat.  Dengan fasilitas yang sangat terbatas, mereka sendiri teradaptasi sehingga kekebalan tubuh mereka menjadi telatih. Entah mereka sudah merasa nyaman dengan kondisi itu atau mereka pasrah-pasrah saja.

Soal perilaku, menurut saya lingkunganlah yang membuat mereka menjadi seperti itu. Lem aibon yang memang selau menempel erat sangat sulit di lepaskan walaupun sering kali di cegah. Ketika ditanya siapa yang memperkenalkan dunia lem mengelem kepada mereka, mereka menjawab: “teman”. Tuh kan lingkungannya tuh yang ga bener, mereka pikir sih lem tuh asik oke mantab atau apalah pokoknya mah ngelem. Tapi efek dibalik itu mereka tidak tahu, sayang seribu sayang. Dengan didirikannya rumah belajar, kehidupan mereka sedikit bervariasi, tapi mungkin sulit untuk merubah gaya hidup mereka, butuh waktu dan proses yang cukup panjang, karena mereka masih hidup di lingkungan yang seperti itu. SDM dengan niat dan hati tuluslah yang dapat merubah mereka untuk diarahkan ke jalan yang benar. Perlu diajarkan pola hidup yang yang kita inginkan, sedikit demi sedikit tapi konstan dan terus menerus sampai terlihat hasilnya.

Tidak semua anak-anak di sana terlantar begitu saja, karena sebagian besar mereka punya rumah, tapi kenapa mereka berkeliaran bebas? Apakah mereka bosan dengan kondisi rumah. Kondisi ekonomi pun memaksa mereka untuk bekerja di jalanan, sekali dua kali dan seterusnya hingga mereka keasyikan di jalanan. Alasannya di jalan lebih bebas, banyak teman dan dari temanlah mereka mempelajari hal-hal yang menurut mereka “asyik”. Jadi keluarga pun turut serta dalam hal seperti ini, keluarga yang tidak normal atau tidak becus hasilnya seperti ini.

Jadi apa yang sebenarnya mereka butuhkan? Uang? Lem? Pelajaran gaya hidup sehat? Ataukah masih terpikir dibenak mereka Kasih Sayang dan kenyamanan atau tanggung jawab hidup sebagai manusia?
Baca selengkapnya »

Anak jalanan dan Tuntutan Kepedulian

| Monday, December 21, 2009
Oleh: Nadia Juli Indrani (Biologi 2007)


“Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.”

(Pasal 34 ayat 1 UUD 45)



Untaian kata-kata pada pasal 34 diatas pastinya sudah sering kita dengar saat guru-guru PPKN atau PMP atau apalah namanya sekarang mengajar di sekolah dasar. Yah sebuah kalimat “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara” yang kenyataannya masih diragukan. Sabtu kemarin (5 September 2009) sebuah organisasi keislaman Al-Hayaat SITH ITB mengadakan sebuah acara buka dan sahur bersama anak-anak jalanan Ciroyom. Acara yang semula dikira biasa saja ini ternyata mengungkap sebuah fakta yang mengiris sanubari hati.

Saat pertama menjumpai anak-anak jalanan, kesan pertama yang ditimbulkan adalah mereka kotor, dekil, dan bau, bau tanah, bau keringat, dan bau lem. Lalu aku memasuki sebuah rumah kayu kecil yang aku kira itu sebuah rumah lesehan ternyata itu adalah sebuah rumah belajar, Rumah Belajar Sahaja. Di dalam rumah itu terlihat beberapa tumpukan buku dan sebuah papan tulis tempat sang pengajar dan para murid belajar, ternyata rumah kayu yang mungil ini adalah rumah dimana mereka mendapat pengajaran meski hanya sekedar belajar calistung (baca, tulis, dan berhitung). Aku pun duduk dirumah kayu itu, rumah yang hanya beralaskan tikar namun cukup hangat, melihat di sekeliling, duduk bersama pengurus dan beberapa anak jalanan, dan mendengarkan celotehan-celotehan lucu mereka, menggelikan itu yang aku rasakan, mereka sangat polos dan sangat membutuhkan belaian kasih saying dari orang-orang sekitar. Sambil bersantap buka puasa aku sedikit berbincang dengan pengurus setempat, dari pembicaraan itu aku tahu sejarah rumah belajar ini berdiri sampai detail kisah setiap anak yang berada dibawah nauangan rumah belajar sahaja. Sungguh membuat rasa sesak di dada untukku, karena dari setiap ceritanya timbul sebuah penyesalan, sebuah rasa yang lebih menyalahkan diri sendiri pada pemikiran awal tadi, pemikiran bahwa mereka hanyalah anak-anak yang kotor, dekil, dan bau.

Seusai makan dan sholat tarawih diadakan acara sharing antara pengurus, anak jalanan, dan anak-anak Al-Hayaat. Kisah mereka sungguh mengharukan mulai dari kabur dari rumahnya karena sering disiksa, menjadi tulang punggung keluarga, sampai mererka pergi karena keinginan mereka sendiri. Asal daerah merekapun bermacam-macam ada yang dari Bogor, Bekasi, hingga Riau, waw dahsyat pikirku, mereka kabur dari rumahnya yang jauh dengan menggunakan kereta ekonomi dan tanpa tiket, keren. Dari acara sharing itu pun akhirnya aku tahu bahwa mereka selalu ngelem setiap harinya hingga ada yang mampu ngelem sampai 20 kaleng setiap harinya. Dengan harga lem perkalengnya Rp. 1500,00 berarti dalam satu harinya mereka telah menghabiskan uang Rp. 30.000,00 hanya untuk sebuah lem. Alasan yang mereka ungkapkan bermacam-macam ada yang untuk menahan lapar dan adapula yang hanya mengikuti teman-temannya.

Aneh, memang terdengar aneh alasan yang mereka ungkapkan, namun mengapa sebuah lem dapat membuat mereka sangat ketagihan? untuk menjawab pertanyaan diatas mari kita lihat apa saja yang terkandung dari lem tersebut dan apa dampaknya. Lem yang sering digunakan untuk merekatkan sol-sol sepatu ini ternyata memiliki suatu zat halusinogen yang dapat menyebabkan si penghirupnya berhalusinasi (Esti, 2009). Selain itu uapnya bersifat iri­tan. Mengiriitasi mukosa saluran napas hingga melukai saluran per­­napasan sehingga terjadi ke­ram di otot pernafasan, dan akibat dari keram pernafasan ini adalah kematian secara mendadak. Uap dari lem ini juga bersifat adiktif bagi penghirupnya, dan jika dihirup dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan kerusakan otak. Ciri-ciri anak yang habis menghirup lem ini adalah daya respon yang agak lambat (lemot).

Melihat hal yang seperti itu akhirnya timbul pertanyaan, bagaimana respon PEMDA setempat, namun ternyata belum ada respon yang berarti dari pemerintahan setempat. Razia-razia lem yang dilakukan para polisi itu bukannya membuat mereka jera tapi malah semakin membuat mereka benci pada polisi dan berbohong agar mereka tidak ditangkap. Sungguh memprihatinkan. Melihat keadaan tersebut dan kenyataan bahwa mereka suka ngelem akhirnya terpikir bahwa jika mereka tidak punya uang maka mereka mungkin tidak akan ngelem. Akhirnya timbul sebuah pemikiran bahwa pemberian uang ke anak-anak jalanan itu tidak disarankan, mereka lebih baik memberi uang-uang itu langsung pada LSM terkait atau rumah-rumah belajar terkait. Setiap masuk atau keluarnya uang hanya pengurusnya yang mengatur, mereka diberi makan dan pengajaran pendidikan formal dan pengajaran soft skill mereka. Mereka diajarkan untuk membuat keterampilan tangan yang selanjutnya akan dijual di pasar-pasar atau mereka berwirausaha sendiri namun  tidak diperkenankan memegang uang sendiri. Pengontrolan akan semua hal ini tentu saja harus dilakukan dengan sangat ketat dan memerlukan orang-orang hanif untuk melakukannya dan pastinya memerlukan waktu yang lama untuk merealisasikannya.

Upaya yang dapat dilakukan dalam jangka pendeknya adalah pengontrolan secara berkala dan ketat dan penyitaan lem-lem yang mereka beli. Penyuluhan tentang bahaya ngelem dan pengajaran agama pun dapat dilakukan. Pemberian hukuman juga dapat dilakukan jika mereka tidak menurut, karena hal ini harus ditindak tegas, mereka adalah generasi penerus, mereka adalah asset Negara, maka sudah selayaknya mereka dibina dan sesuai pasal 34 tadi seharusnya mereka dipelihara oleh Negara, diberi pendidikan yang layak, diberi kenyamanan sebagai warna Negara Indonesia. Hal lain yang mungkin dapat dilakukan adalah penuntutan hak terhadap PEMDA terkait, atau bantuan sukarelawan yang sungguh-sungguh.

Sekian yang dapat diunggkapkan, semoga Allah membalas dengan adil apa-apa yang telah dikerjakan untuk memperjuangkan hal ini. Maaf jika ada kata-kata yang kurang berkenan, dan tulisan ini di dedikasikan untuk seluruh pengurus Rumah Belajar Sahaja Ciroyom, semoga Allah memberika yang terbaik. Amin.
Baca selengkapnya »
 

Copyright © 2010 Al-Hayaat | Design by Dzignine