Pada
tanggal 20 Mei 1908, lebih dari seabad yang lalu, sebuah organisasi bernama
Boedi Utomo didirikan. Organisasi ini beranggotakan mahasiswa-mahasiswa
kedokteran Indonesia yang sedang belajar di STOVIA, sekolah kedokteran di Batavia yang menjadi cikal-bakal
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Berdirinya Boedi Utomo, bersama
Sumpah Pemuda yang diikrarkan 20 tahun kemudian (28 Oktober 1928), merupakan
awal dari munculnya rasa dan semangat persatuan, kesatuan,
dan nasionalisme serta kesadaran untuk memperjuangkan
kemerdekaan Republik Indonesia, yang sebelumnya tidak pernah muncul selama masa penjajahan. Oleh
karena itu, tanggal 20 Mei diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional
(Harkitnas).
Jika
tanggal 17 Agustus merupakan klimaks dari perjuangan
Bangsa Indonesia untuk mendapatkan kemerdekaan (dan awal dari perjuangan sangat
keras untuk mempertahankannya), maka tanggal 20 Mei menandakan awal dari
perjuangan tersebut. Oleh karena itu, tanggal 17 Agustus disebut sebagai “Hari
Raya Kemerdekaan” dan tanggal 20 Mei disebut sebagai “Hari Peringatan”. Harkitnas
diperingati untuk mengingatkan bangsa Indonesia bahwa dulu kita semua pernah
terjajah dan terpecah-belah, sampai kita bangkit dan memperjuangkan kemerdekaan
kita.
Setelah
lebih dari seabad, tentunya bangsa ini secara perlahan tapi pasti telah
berusaha mewujudkan cita-citanya. Para penjajah akhirnya pergi, negara kita
akhirnya merdeka. Hore! Tapi tetap saja, meski kini telah 66 tahun merdeka,
masih saja ada yang bertanya “apakah bangsa Indonesia sudah benar-benar
merdeka?”, lalu mundur lebih jauh lagi “apakah bangsa Indonesia sudah
benar-benar bangkit?”.
Kedua
pertanyaan ini sudah menjadi pertanyaan klise, jawabannya tentu saja “Ya, kita
telah merdeka. Ya, kita telah bangkit.”. Adapun pertanyaan “apakah kemerdekaan
dan kebangkitan tersebut sudah dapat kita maknai dengan baik?”, now that’s an entirely different question.
Menurut
Pak Acep Iwan Saidi (Ais), salah seorang dosen FSRD, dalam artikelnya yang
dimuat di KOMPAS, kebanyakan dari kita masih menganggap waktu sebagai sekedar
siklus, bukan sebagai pergerakan menuju ke arah yang lebih baik. Tanggal 20 Mei
tahun ini akan berulang lagi tahun depan, dan tahun depannya lagi, begitu
seterusnya. Harkitnas hanyalah tanggal merah yang akan ada lagi tahun depan.
Dalam
artikelnya yang lain, Pak Ais juga mengatakan kalau sikap seperti ini
menjadikan matinya narasi di negara kita. Tahu, kan apa itu narasi? Di buku
pelajaran Bahasa Indonesia, narasi didefinisikan sebagai gaya tulisan yang
menceritakan suatu peristiwa dalam urutan waktu. Plot dalam narasi terus
berkembang seiring dengan berjalannya waktu dalam cerita. Bila kondisi bangsa
Indonesia tidak kunjung membaik dari satu Harkitnas ke Harkitnas selanjutnya,
maka kita semua akan berakhir jadi patahan-patahan ahistoris yang mengambang.
Seakan hidup dalam limbo, di luar narasi, di luar waktu.
Ajaran
Islam menekankan pentingnya menjadikan hari ini lebih baik dari hari kemarin.
Diam di tempat saja sudah dikategorikan sebagai rugi, apalagi mundur. Bangsa
Indonesia sudah lebih dari seabad bangkit, jangan sampai kita menjadi bangsa
yang rugi, apalagi terlaknat. Naudzubillahimindzalik.
0 comments:
Post a Comment